Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

Seperti seekor katak yang terjebak dalam sebuah tempurung, kemudian katak tersebut akhirnya  berhasil keluar dari tempurung, melihat dunia yang indah, serasi dan harmonis, dan akhirnya bisa melihat sesuatu yang dulu hanya mendengar bunyinya, tidak mengetahui bentuknya, begitulah saya setelah mengikuti kuliah Filsafat yang diajarkan oleh Prof. Dr. Marsigit. Sejak saya hidup dari 38 tahun yang lalu hingga hari ini, saya belajar banyak menjadi manusia, walaupun kesempurnaan manusia itu tidak sempurna (Marsigit, 2019). Namun jika saya sempurna, maka saya tidak akan sanggup untuk menjadi manusia. Saya sangat menyetujui hal ini, dan akhirnya saya salah menilai sikap lupa saya sebagai suatu hal yang buruk. Saya kadang kesal dengan sikap lupa saya ketika menaruh suatu barang, atau lupa ketika sedang mengerjakan sesuatu, bahkan lupa jika saya ingin bicara sesuatu dan lupa pada satu teori ketika saya sedang mengerjakan tes yang harus menjelaskan teori tersebut. Padahal lupa atau tidak ingat adalah sesuatu yang manusiawi. Sesuatu yang menunjukkan bahwa saya adalah manusia sempurna yang diciptakan Tuhan, namun tidak sempurna. Jika saya renungkan pernyataan ini sangat benar, saya tidak bisa membayangkan jika saya menjadi manusia yang selalu mengingat apapun yang pernah terjadi dalam hidup saya. Misalnya, saya ingat waktu saya ada dirahim ibu, dalam posisi kepala saya dibawah, kaki yang tertekuk, dan berenang didalam air ketuban, atau saya ingat ketika saya dalam proses kelahiran berusaha berjuang keluar dari Rahim ibu, tertekan, tidak bernafas, dan akhirnya hadir di dunia, pasti jika saya mengingat semua hal tersebut, maka saya akan mengalami trauma. Peterson (2017) menyebutnya sebagai infantile amnesia atau amnesia masa kanak-kanak yaitu ketidakadaannya kenangan masa kanak-kanak usia 0 hingga sebelum 3 tahun. Usia manusia mengingat kenangan terjadi pertama kali usia 3 hingga 4 tahun. Banyak kejadian lain yang terjadi dalam hidup saya, akhirnya membutuhkan lupa agar hidup saya menjadi lebih baik. Keterbatasan memori saya untuk mengingat hal-hal baik yang berkesan maupun tidak, serta keterbatasan saya dalam berpikir,  membuktikan bahwa saya adalah manusia yang tidak sempurna. Saya manusia. Yang dilahirkan sempurna, pada hakikatnya adalah ciptaan yang paling sempurna dibandingkan ciptaan lainnya, sesuai gambar dan rupa Allah, namun saya sempurna dalam ketidaksempurnaan saya.

Seekor katak yang baru keluar dari tempurungnya kemudian sadar bahwa apa yang dipikirkannya dahulu kemudian berbeda dengan yang diketahuinya sekarang. Ada sebuah perubahan dalam pikiran si katak, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Segala sesuatu itu berubah, dan segala sesuatu itu tetap. Satu pelajaran yang diperoleh si katak, kesempurnaan didalam ketidaksempurnaan. Si katak akan terus menikmati penjelajahannya keluar dari tempurung untuk mengetahui banyak hal, berubah dari pengetahuan yang lama menjadi pengetahuan yang baru, oleh Piaget dikatakan proses asimilasi dan akomodasi dari perkembangan kognitifnya. Katak tetaplah katak, katak tidak bisa menjadi burung. Katak sadar akan keterbatasannya. Ia yang dulu menjadi katak kecil kini sudah menjadi katak dewasa. Katak belajar untuk berpikir sesuai kedewasaannya, tidak seperti ketika masih kanak-kanak. Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Berpikir dan bertindak sesuai ruang dan waktu. Berpikir dan bertindak dengan memperhatikan atmosfir yang ada, menjadi orang yang mampu menempatkan diri dan rendah hati. Thanks to Prof. Marsigit.

Tulisan ini sebagai tugas Filsafat Penelitian Evaluasi Pendidikan, S3 PEP, dikumpulkan 23 September 2020.

Leave a comment