Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

Seperti seekor katak yang terjebak dalam sebuah tempurung, kemudian katak tersebut akhirnya  berhasil keluar dari tempurung, melihat dunia yang indah, serasi dan harmonis, dan akhirnya bisa melihat sesuatu yang dulu hanya mendengar bunyinya, tidak mengetahui bentuknya, begitulah saya setelah mengikuti kuliah Filsafat yang diajarkan oleh Prof. Dr. Marsigit. Sejak saya hidup dari 38 tahun yang lalu hingga hari ini, saya belajar banyak menjadi manusia, walaupun kesempurnaan manusia itu tidak sempurna (Marsigit, 2019). Namun jika saya sempurna, maka saya tidak akan sanggup untuk menjadi manusia. Saya sangat menyetujui hal ini, dan akhirnya saya salah menilai sikap lupa saya sebagai suatu hal yang buruk. Saya kadang kesal dengan sikap lupa saya ketika menaruh suatu barang, atau lupa ketika sedang mengerjakan sesuatu, bahkan lupa jika saya ingin bicara sesuatu dan lupa pada satu teori ketika saya sedang mengerjakan tes yang harus menjelaskan teori tersebut. Padahal lupa atau tidak ingat adalah sesuatu yang manusiawi. Sesuatu yang menunjukkan bahwa saya adalah manusia sempurna yang diciptakan Tuhan, namun tidak sempurna. Jika saya renungkan pernyataan ini sangat benar, saya tidak bisa membayangkan jika saya menjadi manusia yang selalu mengingat apapun yang pernah terjadi dalam hidup saya. Misalnya, saya ingat waktu saya ada dirahim ibu, dalam posisi kepala saya dibawah, kaki yang tertekuk, dan berenang didalam air ketuban, atau saya ingat ketika saya dalam proses kelahiran berusaha berjuang keluar dari Rahim ibu, tertekan, tidak bernafas, dan akhirnya hadir di dunia, pasti jika saya mengingat semua hal tersebut, maka saya akan mengalami trauma. Peterson (2017) menyebutnya sebagai infantile amnesia atau amnesia masa kanak-kanak yaitu ketidakadaannya kenangan masa kanak-kanak usia 0 hingga sebelum 3 tahun. Usia manusia mengingat kenangan terjadi pertama kali usia 3 hingga 4 tahun. Banyak kejadian lain yang terjadi dalam hidup saya, akhirnya membutuhkan lupa agar hidup saya menjadi lebih baik. Keterbatasan memori saya untuk mengingat hal-hal baik yang berkesan maupun tidak, serta keterbatasan saya dalam berpikir,  membuktikan bahwa saya adalah manusia yang tidak sempurna. Saya manusia. Yang dilahirkan sempurna, pada hakikatnya adalah ciptaan yang paling sempurna dibandingkan ciptaan lainnya, sesuai gambar dan rupa Allah, namun saya sempurna dalam ketidaksempurnaan saya.

Seekor katak yang baru keluar dari tempurungnya kemudian sadar bahwa apa yang dipikirkannya dahulu kemudian berbeda dengan yang diketahuinya sekarang. Ada sebuah perubahan dalam pikiran si katak, dari yang tidak tahu menjadi tahu. Segala sesuatu itu berubah, dan segala sesuatu itu tetap. Satu pelajaran yang diperoleh si katak, kesempurnaan didalam ketidaksempurnaan. Si katak akan terus menikmati penjelajahannya keluar dari tempurung untuk mengetahui banyak hal, berubah dari pengetahuan yang lama menjadi pengetahuan yang baru, oleh Piaget dikatakan proses asimilasi dan akomodasi dari perkembangan kognitifnya. Katak tetaplah katak, katak tidak bisa menjadi burung. Katak sadar akan keterbatasannya. Ia yang dulu menjadi katak kecil kini sudah menjadi katak dewasa. Katak belajar untuk berpikir sesuai kedewasaannya, tidak seperti ketika masih kanak-kanak. Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Berpikir dan bertindak sesuai ruang dan waktu. Berpikir dan bertindak dengan memperhatikan atmosfir yang ada, menjadi orang yang mampu menempatkan diri dan rendah hati. Thanks to Prof. Marsigit.

Tulisan ini sebagai tugas Filsafat Penelitian Evaluasi Pendidikan, S3 PEP, dikumpulkan 23 September 2020.

Filsafat Penilaian untuk Anak Usia Dini

Pendahuluan

Sejak lahir, sesungguhnya setiap anak sudah sering melewati proses pengukuran yang ada dalam kehidupannya. Dimulai dari tes APGAR (Activity, Pulse, Grimace, Appearance, Respiration) yaitu tes yang digunakan untuk mendeteksi kondisi Kesehatan bayi baru lahir (Finster & Wood, 2005). Tes tersebut diantaranya yaitu tes Activity (aktivitas otot) apakah bayi bergerak aktif dan kuat? Pulse (denyut jantung) apakah jantung bayi berdetak lebih dari 100 denyut per menit? Grimace (respons dan reflex bayi) apakah bayi meringis, batuk, atau menangis secara spontan dan dapat menarik kaki atau tangan ketika diberi rangsang nyeri, seperti cubitan ringan atau sentilan di kaki? Appearance (penampilan, terutama warna tubuh bayi) apakah tubuh bayi kemerahan, ini merupakan warna tubuh bayi yang normal? Respiration (pernafasan) apakah bayi menangis kuat dan dapat bernapas secara normal? Penilaian tersebut harus dilakukan untuk mendeteksi apakah perkembangan anak sesuai dengan tahapannya dan bebas dari gangguan secara fisik atau tidak dikemudian hari. Semakin besar anak, maka akan ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilewati anak. Pengamatan terhadap perkembangan menjadi satu hal yang penting.

Wortham (2014) mendefinisikan perkembangan sebagai: “proses perubahan dalam diri seseorang sejalan waktu”. Kita menyadari bahwa semua anak bertumbuh dan berubah.  Perkembangan anak berlangsung berkesinambungan, dalam susunan tertentu, dalam tahapan atau urutan, semua anak-anak dimanapun melalui tiap tahap, laju perkembangan tiap anak mungkin berbeda, dan perkembangan tiap anak bergantung pada usia, kematangan, dan pengalaman (Beaty, 2013). Untuk itu, penilaian itu berguna untuk mengumpulkan informasi tentang kemampuan seorang anak. Sebagaian penilaian dan evaluasi terhadap anak pada pertanyaan seperti “apa yang salah dengan anak itu?”, dan “bagaimana guru dapat mengintervensi untuk membantu?”, namun sesungguhnya pendapat tersebut tidak tepat, hakikat penilaian untuk anak yaitu untuk membantu guru untuk menjawab pertanyaan “ apa yang benar untuk anak usia dini?” dan “bagaimana kita bisa gunakan kekuatan anak untuk membantu dalam perkembangan berkesinambungan bagi anak?”. Banyak ahli memperbincangkan apa yang terbaik yang harus dilakukan untuk menilai anak-anak, apa itu penilaian untuk anak usia dini, bagaimana cara melakukan penilaian terhadap anak, mengapa harus melakukan penilaian terhadap anak dan lain sebagainya tentang penilaian anak usia dini dari sisi ontologi, epistimologi, dan aksiologi akan saya bahas dalam artikel ini

Anak usia dini

Sebelum membahas lebih lanjut tentang penilaian anak usia dini, perlu diketahui dahulu siapa anak usia dini tersebut. Anak usia dini menurut NAEYC (National Association for the Education of Young Children) secara kronologis adalah anak yang berusia baru lahir hingga 8 tahun. Dari sisi priode perkembangan kognitif Piaget, anak usia dini masuk dalam priode sensorimotor dan praoperasional. Perkembangan kognitif ini memberi nuansa berbeda pada pendidik dalam mengajar pada anak. Pengetahuan tentang perbedaan karakteristik setiap anak dalam mengembangkan pengetahuannya merupakan satu keharuran bagi guru (Webb, 1980).

Berbeda dengan pengertian anak usia dini secara krnologis di Indonesia, anak usia dini adalah anak yang berusia baru lahir hingga 6 tahun (Kementrian Pendidikan Nasional, 2015; Kementrian Pendidikan Nasional RI, 2014). Layanan pendidikan untuk usia ini terdiri dari tiga jalur; pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal meliputi taman kanak-kanak, sedangkan pendidikan nonformal yaitu TPA (Tempat Penitipan Anak), KB (Kelompok Bermain) dan SPS (Satuan PAUD sejenis diantaranya Taman Baca Alquran, Sekolah Minggu, Posyandu, BKB (Bina Keluarga Balita), dan lain sebagainya). Layanan pendidikan untuk anak usia dini dalam jalur informal yaitu keluarga dan masyarakat. Walaupun sedikit perbedaan diantara keduanya baik menurut NAEYC maupun berdasarkan kurikulum 2013 inti penilaian untuk anak usia dini merujuk pada rentang usia yang sama yaitu bayi baru lahir hingga usia 6/8 tahun.

Penilaian dan Evaluasi

Assessment is a procedure used to determine the degree to which an individual child possesses a certain attribute (Gullo, 2005). Dengan demikian penilaian adalah proses memperoleh atau mendapatkan data dan untuk mengambil sebuah keputusan. Untuk itu penilaian bertujuan untuk  memahami perkembangan anak secara menyeluruh, bagi guru, dengan mengetahui perkembangan anak, guru juga mengetahui perkembangan anak tersebut melalui program yang dibuat oleh guru, dan untuk mengevaluasi perkembangan anak apakah mengalami keterhambatan atau membutuhkan perlakuan khusus atau tidak (Wortham, 2014). Dengan demikian strategi penilaian dapat digunakan sebagai diagnose yang diperoleh dari guru. Penilaian dapat pula digunakan untuk menempatkan anak pada tempat yang tepat atau pemberian pelayanan yang khusus sesuai dengan kebutuhannya yang pada akhirnya dapat menghasilkan perencanaan program yang tepat pula untuk anak. Selain itu, penilaian juga bertujuan sebagai penelitian.  Penilaian sebagai permulaan penelitian akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.

Evaluation is the process of making judgments about the merit, value, or worth of educational programs, projects, materials, or techniques (Gullo, 2005). Asesmen digunakan selama proses evaluasi pendidikan untuk memberikan sebuah keputusan. Evaluasi berisi teknik untuk mengambil keputusan dan menyimpulkan yang didasari bukti. Bukti terdiri atas dua yaitu bukti pengamatan sistematik dan tidak sistematik sebuah program. 

Sejarah Penilaian untuk Anak Usia dini

Penelitian sangat berkaitan erat dengan penilaian. Ketertarikan para peneliti dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan siklus kehidupan anak merupakan permulaan perkembangan penilaian. Para peneliti didunia menggunakan pengamatannya untuk mengukur perilaku manusia. Berikut ini sejarah dari penilaian untuk anak usia dini dari berbagai sumber (Gullo, 2005; Lidz, 2003; Wortham, 2014). Beberapa teori besar oleh Johann Pestalozzi, pencetus dalam program pendidikan perkembangan khusus anak-anak, yang mulai mempublikasikan dan menulis tentang perkembangan anak usia 3,5 tahun di tahun 1774, publikasi terawal yang fokus pada perkembangan pendidikan untuk anak-anak. Kemudian disaat yang sama beberapa ahli dibidang pendidikan yaitu John Locke (1699). Emile (Rousseau, 1762), dan Frederick Frobel (1896) merupakan orang yang fokus pada perkembangan dan kebutuhan anak-anak di abad ke 18 dan 19. Untuk selanjutnya penelitian dan pengukuran untuk anak-anak dimulai dari pergerakan studi tentang anak-anak, perkembangan alat tes, Head start, dan beberapa program federal di tahun 1960an dan hukum public 94-142, 99-142, dan pendidikan individual khusus.

Pergerakan studi tentang anak-anak. G. Stanley Hall, Charles Darwin, Lawrence Frank merupakan pemimpin pergerakan studi tentang anak. Darwin, meneliti tentang perkembangan bayi yang berkembang bagi spesies manusia, diinisiasi penelitian saintifik anak. Hall, mengembangkan metode untuk meneliti anak, serta mendirikan pusat utama studi anak di Clark University, Massachusetts. Murid Hall yaitu John Dewey, Arnold Gesell, dan Lewis Terman, juga berkontribuso pada penelitian dan pengukuran anak. Dewey, mengembangkan program pendidikan untuk anak-anak. Gesell, pertama mendeskripsikan perilaku awal anak dalam usia kronologi. Terman menjadi pemimpin perkembangan tes mental. Selanjutnya, mulai dibangun sekolah laboratorium dan sekolah pengasuhan untuk anak-anak dibawah departemen ekonomi dari universitas.

Tes standar. Tahun 1900 standar tes juga berkembang. Sekitar tahun 1920an para mahasiswa dan universitas menemukan transkrip siswa di satu sekolah tinggi yang sulit untuk di evaluasi. The Scholastic Aptitude Test (SAT) kemudian digunakan untuk membandingkan hasil tersebut. Pada awalnya, tes didesain informal. Psikolog, peneliti, atau ahli psikologi membutuhkan metode untuk mengamati perilaku, mereka mengembangkan panduan untuk membantu mereka memperoleh apa yang dibutuhkan. Panduan tersebut kemudian diadaptasi oleh orang lain dengan kebutuhan yang sama. Ketika banyak orang yang ingin menggunakan strategi pengukuran dan tes ini, pengembang menyiapkan kopiannya untuk dijual. Begitu seterusnya hingga tes semakin berkembang, kemudian percetakan mengembangkan tes dan memproduksinya hingga menciptakan dan atau menjual tes.

Head Start dan Perang melawan kemiskinan. Tahun 1960an tes untuk anak prasekolah dikembangkan oleh dokter Kesehatan, psikolog, dan beberapa pelayan professional anak. Pengukuran perkembangan, tes IQ, dan tes khusus untuk mengukur gangguan perkembangan secara umum digunakan untuk tujuan non pendidikan. 1950an, pemerintah meningkatkan pendidikan untuk anak-anak miskin dan kelas menengah dengan membuat program peningkatan anak prasekolah yang dinamai Head Start. Semua program diprakasai oleh pemerintah, untuk melakukan evaluasi secara efektif. Perkembangan tes dan pengembangan tes baru berguna untuk mengevaluasi kesuksesan program tersebut.

Undang-undang untuk anak dengan kebutuhan khusus. Public law (PL) 94-142, 99-457, 101-576 merupakan undang-undang untuk pendidikan untuk semua anak dengan kebutuhan khusus, berdampak besar pada mengembangan pengukuran untuk anak-anak. Pada implikasinya, pengukuran, identifikasi, dan penempatan anak dengan gangguan mental dan beberapa kebutuhan khusus, menjadi sulit. Tes pada waktu itu tidak banyak tes yang dapat digunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Guru kelas belajar teknik untuk digunakan mengidentifikasi siswa dengan gangguan dan memutuskan bagaimana mereka membutuhkan pendidikan khusus. Mereka mengembangkan test, tim skrining, dan Individual Education Plan (IEP), dengan pengembangan ini, maka anak dapat dimasukkan dalam kelas yang bergabung bersama dengan anak-anak yang berkembangnya secara normal. Namun masih menjadi perdebatan berkaitan dengan kemampuan guru ketika menemui anak dengan kebutuhan khusus. Untuk mengatasi tersebut maka dibuatlah Program Federal untuk anak prasekolah dan Program Intervensi Dini. Program Federal untuk Anak Prasekolah memenuhi hak anak dengan kebutuhan khusus antara usia 3 hingga 5 tahun. Program Intervensi Dini merupakan layanan untuk semua anak sejak lahir hingga usia 2 tahun yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan. Maka dikembangkanlah desain pengukuran untuk melakukan skrining, identifikasi, dan menempatkan anak prasekolah dalam program intervensi. 1991 kemudian diputuskan bahwa anak dengan kebutuhan khusus harus masuk dalam program pendidikan anak, sehingga konsep integrasi atau inklusi di setiap sekolah harus ada.

Trens di abad baru tahun 1990an sekolah-sekolah mampu mengembangkan lingkungan belajar dan prestasi untuk setiap anak. Walaupun demikian masih banyak juga sekolah yang memiliki kinerja yang rendah ditahun 2000-2001an. Untuk itu sejak tahun itu, George W Bush memprioritaskan penguatan program pendidikan anak-anak  melalui program Sunshine School Program, dan departemen pendidikan fokus pada pendidikan anak usia dini di setiap daerah, kota, hingga kampus. Sejak saat itu peningkatan penggunaan penilialan disetiap level dalam pendidikan di amerika semakin terfokus pada seting sekolah umum, dan juga penilaian untuk anak dengan budaya dan perbedaan bahasa, demikian pula penilaian untuk anak dengan kebutuhan khusus. Model-model penilaian untuk anak pun semakin berkembang hingga sangat bervariasi hingga saat ini.

Prinsip Penilaian untuk Anak Usia Dini

Penilaian untuk anak usia dini secara umum harus mengandung prinsip harus menggunakan berbagai sumber informasi, harus memberi manfaat pada anak dan meningkatkan belajar, melibatkan anak dan keluarga, harus adil untuk semua anak, dan harus autentik (Wortham, 2014). Gullo (Gullo, 2005) mengatakan enam prinsip asesmen dalam pendidikan untuk anak-anak;

Prinsip 1: Manfaat untuk Anak-anak. Penilaian memberikan manfaat yang jelas bagi anak-anak. Ini bisa dalam bentuk peningkatan kualitas program yang diikuti anak-anak atau dalam peningkatan jumlah layanan langsung yang disediakan untuk anak.

Prinsip 2: Digunakan untuk Tujuan Tertentu. Penilaian harus disesuaikan dengan tujuan tertentu dan harus dapat diandalkan, valid, dan adil untuk tujuan itu. Semua penilaian, terutama penilaian standar, dirancang untuk satu tujuan; jika digunakan untuk tujuan lain, maka tidak valid, dan hasilnya sering kali berupa penyalahgunaan atau penyalahgunaan temuan pengujian. Keputusan yang didasarkan pada banyak pengujian berisiko tinggi saat ini mencerminkan penyalahgunaan pengujian. Penilaian harus digunakan hanya untuk tujuan yang dimaksudkan.

Prinsip 3: Kenali Keterbatasan Usia anak. Kebijakan penilaian harus dirancang dengan mengakui bahwa reliabilitas dan validitas penilaian meningkat dengan usia anak-anak. Prinsip utama dari prinsip ini adalah bahwa semakin muda anak, semakin sulit mendapatkan hasil yang dapat diandalkan dan valid dari prosedur penilaian. Ini terutama berlaku dalam penilaian kemampuan kognitif anak. Banyak jenis asesmen tidak boleh dilakukan sampai anak lebih besar. Jika penilaian diberikan kepada anak-anak yang lebih kecil, pengamanan yang sesuai harus dilakukan baik dalam administrasi dan interpretasi temuan.

Prinsip 4: Bersikap Sesuai Usia. Penilaian harus sesuai dengan usia baik dalam konten dan metode pengumpulan data. Prosedur penilaian harus digunakan dengan cara yang mengenali bahwa anak-anak berkembang dan belajar dalam berbagai cara. Penilaian harus membahas semua bidang pembelajaran dan perkembangan termasuk perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, perkembangan fisik dan kesejahteraan, perkembangan sosial dan emosional, dan perkembangan motorik. Selain itu, penilaian harus membahas berbagai pendekatan pembelajaran serta pengetahuan umum. Untuk mendemonstrasikan kemampuan mereka, anak membutuhkan konteks yang akrab bagi mereka. Untuk alasan ini, asesmen harus dilakukan di tempat yang akrab bagi anak kecil dan di mana mereka merasa nyaman. Anak kecil juga adalah pembelajar dan pemikir yang konkret. Tes kertas dan pensil pada dasarnya abstrak dan seringkali tidak berguna untuk memungkinkan anak-anak mendemonstrasikan apa yang mereka ketahui.

Prinsip 5: Pendekatan bahasa. Penilaian harus sesuai secara bahasa, mengakui bahwa sampai batas tertentu semua penilaian adalah ukuran bahasa. Saat menilai anak kecil, perkembangan bahasa pertama dan kedua mereka harus dipertimbangkan. Penting untuk disadari bahwa latar belakang individu anak akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jenis pengetahuan yang mereka kumpulkan, kosakata yang mereka kembangkan, dan keterampilan yang mereka pelajari. Semua perbedaan ini dapat mempengaruhi proses dan hasil penilaian.

Prinsip 6: Hargai Orang Tua. Orang tua harus dipandang sebagai sumber informasi penting mengenai perkembangan dan pembelajaran anak mereka. Selain itu, prosedur asesmen harus sedemikian rupa sehingga memberikan informasi yang berharga kepada orang tua tentang perkembangan anak, pembelajaran, prestasi di sekolah, serta kemajuan yang sedang dibuat oleh anak mereka.

Tujuan Penilaian untuk Anak Usia Dini

Penilaian untuk anak usia dini bertujuan untuk (Gullo, 2005); Tujuan 1: Asesmen untuk Mendukung Pembelajaran. Tujuan pertama, “menilai untuk mempromosikan pembelajaran dan perkembangan anak-anak” menganjurkan bahwa proses pengajaran dan proses penilaian tidak dapat dipisahkan. Penilaian individu sangat penting untuk menentukan titik awal memulai proses kurikulum dengan anak-anak. Biasanya, dua aspek dipertimbangkan dalam kerangka ini. Yang pertama adalah kegunaan menentukan jenis keterampilan akademis dan pengetahuan faktual yang dimiliki anak. Keterampilan akademik adalah jenis pengetahuan dan kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki anak-anak sebagai hasil langsung dari pengalaman kegiatan kurikulum. Keterampilan akademis dibutuhkan untuk melanjutkan atau maju melalui urutan kurikulum. Ini termasuk hal-hal seperti pengetahuan bilangan, pengetahuan konseptual, pengetahuan logis, pengetahuan faktual, dan sebagainya.

Tujuan 2: Mengidentifikasi Kebutuhan Khusus. Tujuan kedua, “mengidentifikasi anak untuk kesehatan dan layanan khusus”, menyatakan bahwa asesmen juga harus digunakan untuk mengidentifikasi masalah khusus anak untuk tujuan menentukan apakah ada kebutuhan akan layanan tambahan di luar yang sudah disediakan. Kebutuhan khusus digambarkan sebagai kebutaan, tuli, cacat bicara dan bahasa, keterlambatan kognitif, gangguan emosional, ketidakmampuan belajar, dan gangguan motorik. Biasanya proses dua langkah diperlukan untuk mengidentifikasi anak-anak berkebutuhan khusus. Langkah pertama adalah penyaringan. Ini adalah penilaian yang sangat singkat untuk menentukan apakah penilaian lebih lanjut diperlukan. Skrining hanya digunakan pada tahap awal identifikasi dan rujukan kebutuhan khusus. Seringkali, guru kelas atau orang lain yang tidak memiliki pelatihan khusus dalam administrasi penilaian diagnostik standar mengelola penilaian skrining. Jika ditentukan bahwa penilaian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan sifat kebutuhan khusus, prosedur diagnostik diterapkan. Anak dirujuk ke spesialis atau spesialis yang sesuai yang menilai anak secara mendalam menggunakan penilaian diagnostik. Spesialis termasuk individu-individu seperti psikolog sekolah, ahli patologi wicara, dokter medis, psikolog konseling, dan sejenisnya. Dalam banyak kasus, sebuah tim yang terdiri dari individu-individu bukan hanya satu spesialis yang melakukan prosedur diagnostik. Hasil dari prosedur diagnostik ada dua. Pertama, prosedur penilaian harus mengidentifikasi sifat dari kebutuhan atau kebutuhan khusus. Kedua, dan sama pentingnya, prosedur diagnostik harus menunjukkan jenis program yang paling sesuai dengan kebutuhan anak. Menilai anak-anak yang diidentifikasi memiliki kebutuhan pendidikan khusus adalah fokus dari Bab 10.

Tujuan 3: Kemajuan Anak dan Evaluasi Program. Dalam tujuan ketiga, “memantau tren dan mengevaluasi program dan layanan”, penilaian individu anak digabungkan di seluruh kelompok anak untuk menentukan efektivitas program dan diperiksa secara individu dari waktu ke waktu untuk memeriksa kemajuan anak. Menurut McAfee dan Leong (2002), ada tiga alasan guru melacak kemajuan anak. Pertama, guru perlu mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan dengan anak-anak di kelas menghasilkan pembelajaran dan perkembangan. Kedua, guru perlu menunjukkan kepada keluarga dan anak-anak bahwa kemajuan sedang dibuat. Dan ketiga, dengan memberikan bukti kemajuan kepada anak-anak dan keluarga, peningkatan motivasi dari pihak orang tua dan anak-anak dapat terwujud.

Tujuan 4: Akuntabilitas. “Menilai prestasi akademik untuk meminta pertanggungjawaban siswa, guru, dan sekolah” adalah tujuan keempat untuk menilai anak-anak dalam program anak usia dini. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, semua negara bagian telah mengembangkan standar untuk kinerja anak-anak. Penilaian individu juga dapat digabungkan untuk menentukan apakah standar-standar ini dipenuhi atau tidak, dengan demikian menjadikan sekolah pada ukuran akuntabilitas. Dua jenis standar biasa dalam hal ini. Standar isi merupakan salah satu jenis standar yang telah dikembangkan. Standar konten mengacu pada apa yang harus dipelajari dalam berbagai mata pelajaran. Standar isi juga dapat mencakup kemampuan berpikir kritis, keterampilan pemecahan masalah, penalaran, dan strategi yang digunakan oleh anak-anak dalam mengumpulkan informasi. Standar kinerja mengacu pada tingkat pencapaian yang dianggap sesuai untuk tingkat kelas individu. Sebagian besar standar kinerja menyertakan tolok ukur untuk setiap kelas, yang menunjukkan tingkat pencapaian yang harus dimiliki anak-anak untuk setiap standar konten. Standar pembelajaran usia dini merupakan komponen berharga dalam program komprehensif bagi anak-anak untuk menjamin program berkualitas dan keberhasilan akademik di masa depan. Hasil ini hanya dapat dijamin jika terdapat kondisi berikut: (1) Program harus menekankan konten dan hasil yang signifikan dan sesuai dengan perkembangan; (2) standar pembelajaran dikembangkan dan ditinjau melalui proses yang mencerminkan pemahaman pembelajaran anak saat ini; (3) penilaian pencapaian standar ini harus dilakukan dengan menggunakan strategi penilaian yang etis dan sesuai untuk anak-anak; dan (4) standar pembelajaran harus mencerminkan dukungan yang kuat untuk program anak usia dini, keluarga, dan profesional.

Komponen sistem penilaian untuk anak usia dini

Tes standar didesain untuk mengukur karakteristik individual. Tujuan tes standar yaitu untuk mengukur kemampuan, prestasi, sikap, minat, aptitude, nilai, dan kepribadian. Hasil tes ini akan digunakan untuk merencanakan pembelajaran, untuk meneliti perbedaan antara individu dan kelompok, dan untuk konseling atau pendampingan. Langkah untuk mendesain tes standar yaitu menentukan tujuan tes secara spesifik, menentukan format tes, mengembangkan format ekperimental, merakit tes, menstandarkan tes, mengembangkan manual tes, validitas dan reliabilitas tes, faktor-faktor yang berdampak pada validitas dan realibilitas, dan mengukur standar eror.

Strategi asesmen informal. Jenis-jenis instrumen informal dan teknik untuk mendeskripsikan perkembangan dan belajar juga perlu dilakukan. Untuk anak-anak, tes skrining informal juga dibutuhkan untuk merencanakan pembelajaran. Beberapa bentuk asesemen informal yaitu observasi, alat ukur yang didesain guru, cek list, skala rating, rubrik, penilaian kinerja dan portfolio, dan penilaian berbasis teknologi. Observasi. Tujuan observasi terdiri atas empat yaitu memahami perilaku anak, mengevaluasi perkembangan anak, menilai proses belajar anak, dan menilai multiple inteligen. Beberapa tipe observasi yaitu catatan anekdot, catatan berjalan, cataatn specimen, time sampling, event sampling, ceklist dan skala rating, rekaman audio dan video.

Penilaian berbasis Bermain

Asesemen bermain adalah jendela untuk melalukan penilaian (Lidz, 2003). Salah satu cara termudah bagi pendidik anak usia dini untuk mulai menilai anak-anak adalah menggunakan pendekatan berbasis bermain. Menggunakan aktivitas bermain sebagai alat untuk menilai pengetahuan dan keterampilan anak bukanlah fenomena baru. Para guru telah lama mengamati anak-anak selama bermain dan membuat keputusan berdasarkan pengamatan tersebut. Penilaian untuk anak dengan bermain merupakan alat diagnostic penting yang dapat dilakukan secara komprehensif. Prosedur asesmen bermain dikembangkan berdasarkan tujuan dan sesungguhnya tidak dapat di akses untuk para pengguna professional. Ada dua prosedur yang khusus pada asesmen bermian yaitu Play Assessment Scale (PAS) yang didesain oleh Fewell dan TPBA dari Linder. PAS digunakan untuk anak berusia antara 2 hingga 36 bulan dan berisi 45 item perkembangan. Para asesor menyediakan 8 set permainan yang diberikan kepada anak untuk mengecek level perkembangannya. Observasi dilakukan indepeden dan pada fasilitas bermain, asesor memberi skor pada perilaku bermain anak dan mengkaitkannya pada usia perkembangan. TPBA lebih panjang, prosedur lebih kompleks yang mengaplikasikan level perkembangan anak di usia bayi hinggga 6 tahun. Target penilaian dengan TPBA yaitu perkembangan kognitif,komuniasi, motor, sosial emosional. Penilaian bermain ini tidak menggunakan mainan namun hanya format skor.

Kesimpulan

Penilaian untuk anak usia dini berawal dari kebutuhan dan kesadaran bahwa penelitian tentang kehidupan manusia perlu dilakukan untuk memahami lebih dalam spesies manusia. Penilaian untuk anak usia dini mengarah pada bagaimana perkembangan anak, perlukan anak mendapatkan perlakuan khusus, dan apa saja yang perlu dilakukan agar perkembangan anak dapat terjadi secara optimal? Penilaian untuk anak yang etrbaik adalah ketika penilaian dilakukan dengan bermain. Bermain merupakan jendela dan merupakan penilaian khusus yang digunakan untuk anak usia dini.

Referensi

Beaty, Janice J., (2013). Observing Development of The Young Child; Seventh Edition. Pearson Education, Inc.

Finster, M., & Wood, M. (2005). The Apgar score has survived the test of time. Anesthesiology, 102(4), 855–857. https://doi.org/10.1097/00000542-200504000-00022

Gullo, D. (2005). Putting Early Childhood Assessment and Evaluation in Perspective. In Understanding Assessment and Evaluation in Early Childhood Education (Second). New York, London: Teacher College Press.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2015). Permendikbud No 146 Tahun 2014. In ببب. Retrieved from http://paud.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2016/04/Permendikbud-146-Tahun-2014.pdf

Kementrian Pendidikan Nasional RI. (2014). Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini No 137 Tahun 2014. In Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Retrieved from https://portaldik.id/assets/upload/peraturan/PERMEN KEMENDIKBUD Nomor 137 Tahun 2014 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI.pdf

Lidz, C. S. (2003). Early Childhood Assessment. United States of America: John Wiley & Sons, Inc.

Webb, P. K. (1980). Piaget: Implications for Teaching. Theory Into Practice, 19(2), 93–97. https://doi.org/10.1080/00405848009542880

Wortham, S. C. (2014). Assessment in Early Childhood Education Pearson New International Edition. Pearson Education, Inc.

Pembelajaran Online untuk Anak Usia Dini

Pendahuluan

Masa pandemic karantina covid 19 semua pembelajaran di sekolah secara langsung dengan tatap muka, terhenti. Dampak dari karantina tersebut kemudian berpengaruh pula pada penyelenggaraan pendidikan di anak usia dini. Selama hampir 3 bulan pertama pada masa karantina, pembelajaran di anak usia dini dalam jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak, Kelompok Bermain, dan Tempat Penitipan Anak, tidak melakukan aktivitas belajar seperti biasa. Semua guru di PAUD mengalami kebingungan untuk menentukan cara belajar terbaik untuk anak-anak. Disatu sisi, penggunaan gadget pada anak harus dibatasi, namun disisi lain, anak-anak perlu teknologi dan tidak lepas dari teknologi dalam belajar. Beberapa guru menggunakan whatsapp grup untuk membagikan aktivitas yang harus dilakukan anak di rumah. Ada juga guru yang menggunakan konten video youtube sebagai sumber belajar, dan bahkan membuat konten video youtube sendiri dan dipublikasi ke anak-anak. Semua upaya dilakukan guru untuk membuat proses pembelajaran dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Transformasi besar-besaran dalam pendidikan, menunjukkan bahwa guru perlu menggunakan berbagai sarana dan prasarana untuk membantu berlangsungnya proses pendidikan. Masa seperti ini pula memaksa guru bekerja, menggunakan dan memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya sebagai sumber belajar untuk dirinya sendiri bahkan juga untuk memfasilitasi anak didik. Guru yang dulu tidak pernah menggunakan komputer untuk membantu mereka mengajar maka sekarang komputer adalah alat terbaik bagi guru untuk mengajar. Bagaimana pembelajaran online terbaik untuk anak usia dini? Apa dasar teori belajar dalam pembelajaran online dijelaskan berikut ini.

Pembelajaran Online

Pembelajaran online meliputi e-learning, pembelajaran Internet, pembelajaran terdistribusi, pembelajaran berjaringan, tele-learning, pembelajaran virtual, pembelajaran berbantuan komputer, pembelajaran berbasis web, dan pembelajaran jarak jauh (Ally, M., 2004). Beberapa pendapat mengatakan bahwa pembelajaran online adalah sebagai materi pendidikan yang disajikan di komputer menggunakan internet, sebagai pendekatan inovatif untuk menyampaikan instruksi kepada audiens dalam jarak jauh, mendukung proses pembelajaran, untuk memperoleh pengetahuan, dan pengalaman belajar.

Pembelajaran online memiliki manfaat didalamnya yaitu bagi para siswa, belajar online tidak mengenal zona waktu, dan jarak. Siswa dapat mengakses materi online kapan saja, dan dapat tetap berinteraksi dengan pengajar kapan saja. Penggunaan internet juga membantu siswa untuk mengakses materi pembelajaran terkini dan relevan, serta berkomunikasi dengan orang-orang yang ahli pada bidang tertentu yang ingin dipelajari. Bagi guru, belajar online membantu guru untuk melakukan kegiatan belajar kapan pun dan dimana pun, materi belajar dapat diperbaharui dan siswa dapat melihat perubahan materi tersebut dengan segera. Guru juga dapat lebih mudah mengarahkan sisiwa untuk dapat mengakses materi yang sesuai di internet berdasarkan kebutuhan siswa. Jika materi pembelajaran dirancang dengan baik, maka guru dapat dengan lebih mudah membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan kurikulum.

Merancang materi belajar online dengan sungguh-sungguh merupakan suatu keharusan yang dilakukan guru untuk menghasilkan tujuan yang maksimal. Pengembangan materi belajar online yang efektif harus didasarkan pada teori pembelajaran yang tepat. Pendidik harus memahami berbagai teori pembelajaran yang berbeda dan kemudian dipadukan agar sesuai dengan desain materi pembelajaran online demikian pula dengan pemilihan strategi dan pendekatan pembelajaran. Strategi yang dipilih hendaknya dapat memotivasi dan memfasilitasi siswa, mempertimbangkan perbedaan individu, mempromosikan pembelajaran yang bermakna, mendorong interaksi, dan memberi dukungan selama proses pembelajaran.

Pendekatan dalam Pembelajaran Online

Pendekatan para ahli behavioris, kognitivis, dan konstruktivis sama-sama menyumbang desain materi dalam pembelajaran online dengan nuansa strategi yang berbeda dan disebut sebagai taksonomi pembelajaran dalam pembelajaran online. Pendekatan behavioris mengajarkan fakta, pendekatan kognitid mengajarkan proses dan prinsip, pendekatan kontruktivis mengajarkan pemikiran tingkat tinggi, dan makna.

Pendekatan behavioris oleh Thorndike (1913), Pavlov (1927), dan Skinner (1974) (dalam Ally, 2004) mengarahkan pendekatan belajar pada perubahan perilaku yang disebabkan rangsangan eksternal lingkungan. Dalam pendekatan ini, perubahan perilaku merupakan satu bukti bahwa siswa mempelajari sesuatu. Implikasi pendekatan behavioris dalam pembelajaran online (Ally, 2004) yaitu 1. peserta didik harus diberi tahu hasil eksplisit dari pembelajaran sehingga mereka dapat menetapkan ekspektasi dan menilai sendiri apakah mereka telah mencapai hasil dari pelajaran online atau tidak, 2. peserta didik harus diuji untuk menentukan apakah mereka telah mencapai hasil belajar atau tidak, 3. pengujian online atau bentuk pengujian dan penilaian lainnya harus diintegrasikan ke dalam urutan pembelajaran untuk memeriksa tingkat pencapaian pelajar individu dan memberikan umpan balik yang sesuai, 4. materi pembelajaran harus diurutkan dengan tepat untuk mendorong pembelajaran. Pengurutan dapat berupa sederhana hingga kompleks, diketahui hingga tidak diketahui, dan pengetahuan hingga aplikasi. 5. Peserta didik harus diberi umpan balik sehingga mereka dapat memantau bagaimana mereka melakukannya dan mengambil tindakan korektif jika diperlukan. Namun para ahli mengatakan bahwa tidak semua pembelajaran dapat diamati, masih banyak pembelajaran yang berdampak tidak hanya pada perubahan perilaku, tapi terjadi pada perubahan kognitif.  Untuk itu pendekatan behavioris kemudian beralih pada pendekatan kognitif.

Pendekatan kognitif mengatakan bahwa pembelajaran melibatkan penggunaan memori, motivasi, dan pemikiran. Pendekatan ini juga mengatakan bahwa pembelajaran sebagai proses internal, dan sesuatu yang dipelajari tersebut sangat tergantung pada kapasitas pemrosesan belajar, usaha yang dilakukan, dan kedalaman pemrosesan, serta struktur pengetahuan peserta didik. Implikasi pendekatan kognitif dalam pembelajaran online (Ally, 2004) yaitu strategi yang digunakan guru harus memungkinkan siswa untuk melihat dan memperhatikan informasi sehingga dapat ditransfer ke memori kerja. Siswa dapat menggunakan sistem sensoriknya untuk mencatat informasi dalam bentuk sensasi. Siswa harus menerima informasi dalam bentuk sensasi sebelum persepsi dan pemrosesan dapat terjadi; namun, pelajar tidak boleh dibebani dengan sensasi, yang bisa menjadi kontraproduktif terhadap proses pembelajaran. Sensasi yang tidak penting harus dihindari, untuk memungkinkan peserta didik memperhatikan informasi penting. Untuk itu, strategi untuk meningkatkan persepsi dan perhatian dalam pembelajaran online meliputi: penempatan informasi penting di tengah layar untuk membaca, dan pelajar harus mampu membaca dari kiri ke kanan. Informasi penting untuk pembelajaran harus disorot untuk memfokuskan perhatian peserta didik. Berbagai kekurangan tersebut kemudian mendorong adanya pendekatan konstruktivisme setelah pendekatan kognitif.  

Para ahli konstruktif mengatakan bahwa siswa menafsirkan informasi dan dunia sesuai dengan realitas pribadinya yaitu belajar dengan observasi, pemrosesan, dan interpretasi, mempersonalisasikan informasi kedalam pengetahuan pribadi. Cara belajar terbaik siswa adalah dengan mengkontekstualisasikan yang dipelajari dengan penerapan langsung dan makna pribadi. Implikasi pendekatan konstruktif dalam pembelajaran online (Ally, 2004) yaitu belajar harus menjadi proses aktif, peserta didik harus membangun pengetahuannya sendiri, tidak hanya menerima apa yang diberikan instruktur. Dalam lingkungan online, siswa mengalami informasi secara langsung, dalam menerima informasi yang difilter dari instruktur yang gaya atau latar belakangnya mungkin berbeda. Untuk itu, peserta didik mengalami informasi secara langsung, dan memberi siswa kesempatan untuk mengontekstualisasikan dan mempersonalisasi informasi itu sendiri.  Perlunya dukungan pembelajaran kolaboratif dan kooperatif. Siswa didorong untuk mengasah keterampilannya untuk belajar dari orang lain dan membantu siswa lain untuk membantu siswa.

Pendekatan konektivisme yaitu pendekatan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip, jaringan, kompleksitas, dan organisasi secara mandiri. Perubahan pembelajaran di jaman ini, dengan ledakan informasi yang sangat luar biasa, membawa pembelajaran tidak berada di bawah kendali siswa. Perubahan tersebut mendorong siswa untuk melepaskan apa yang telah dipelajari di masa lalu dan belajar mempelajari dan mengevaluasi informasi baru. Segala sesuatu yang ingin dipelajari siswa sangat ditentukan oleh orang lain dan terus berubah. Beberapa pengetahuan ada di mesin dan yang lain pada manusia. Untuk itu, tantangan bagi pendidik adalah bagaimana merancang instruksi untuk mesin dan manusia agar ada interaksi antar keduanya. Implikasi pembelajaran online menurut pendekatan konektivisme (Ally, 2004) yaitu siswa dituntut untuk mandiri sehingga memperoleh informasi terkini untuk membangun pengetahuan, harus siap untuk memperoleh informasi yang benar-benar baru, siswa diberi kesempatan untuk dapat terhubung dengan orang lain dan dengan dunia, siswa diberi kesempatan untuk mempelajari berbagai sumber tidak hanya satu sumber, siswa diajarkan pula untuk melakukan proses belajar berkelanjutan, belajar tanpa henti, dan multidisiplin. 

Pembelajaran dengan Teknologi pada Anak Usia Dini

Scott (2003) mengatakan bahwa pembelajaran online untuk anak taman kanak-kanak sudah dapat dipikirkan karena semakin maju zaman, era digital pasti akan mempengaruhi sistem belajar pada anak-anak di usia prasekolah. Komunitas belajar virtual anak-anak harus sudah dapat dipikirkan dari sekarang (waktu itu 2003) bagaimana anak mengenal teknologi, belajar menggunakannya, dan bagaimana formula belajar online untuk anak. Tulisan Scoot pada tahun 2003 kemudian terjawab ditahun 2020. Pendidikan prasekolah saat ini kemudian berjuang untuk menyamakan ritme mengaplikasikan berbagai pendekatan belajar yang sebelumnya telah dibahas kedalam pembelajaran anak usia dini. Kelekatan anak pada teknologi tidak dapat dipungkiri sebagai kebutuhan anak, mengingat anak-anak adalah generasi milenial, yang membawa genetic teknologi didalamnya. Ketertarikan anak pada dunia teknologi membantu mereka untuk mempelajari cara mengoperasikan teknologi dengan sangat cepat.

Lebih dari 1.5 juta journal dalam google scholar yang menunjukkan keterkaitan teknologi dengan kemampuan literasi awal anak. Salah satu diantaranya, penelitian Tracey & Young (Tracey & Young, 2007) terhadap anak-anak TK yang mengalami keterhambatan dalam prestasi literasi. Melalui program Worterford Early Reading level 1, aktivitas yang diberikan selama 15 menit setiap hari selama 10 bulan, menunjukkan bahwa anak yang beraktivitas dengan software tersebut mengalami peningkatan dalam literasi dari pada anak-anak yang tidak menggunakannya. Program the Waterford early reading tersebut terdiri dari kegiatan bermain berbasis komputer yang berisi permainan dan lagu yang memperkaya literasi anak.  

Liang & Johnson (Liang & Johnson, 1999) mengatakan bahwa ada tiga jenis teknologi yang dapat digunakan dalam kelas untuk perkembangan literasi awal, yaitu softwear, internet, dan pusat multimedia. Kualitas sofwear untuk anak terdiri atas empat aspek yaitu berorientasi pada pemecahan masalah, perkembangan berkelanjutan, playfulness, dan incorporating new technologies.  Internet dapat digunakan guru sebagai alat pendidikan untuk mengajar anak. Guru dapat menyarankan anak untuk mendownload aplikasi untuk bermain anak. Pusat multimedia teknologi dalam pusat multimedia diantaranya program-program mendidik yang dapat digunakan anak untuk menulis dan menggambar berbagai objek, mendengar suara, membaca, mengkopi objek dan mewarnai dalam program komputer. 

Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, teknologi berperan penting dalam membantu anak mengembangkan literasinya terutama untuk anak-anak. Memang ada berbagai perdebatan diantara beberapa peneliti tentang perlu tidaknya teknologi diberikan kepada anak.  Misalnya penelitian oleh Alghamdi (Alghamdi, 2016) mengatakan bahwa teknologi berpengaruh buruk pada perkembangan anak baik dalam kehidupan personal anak, hubungannya dengan orang lain, dan dengan Kesehatan anak. Mustafaoğlu et al (Mustafaoğlu, Zirek, Yasacı, & Razak Özdinçler, 2018) juga mengatakan bahwa teknologi baik teknologi tradisional (seperti televisi) maupun teknologi modern (smartphone, tablet, dan komputer) berpengaruh pada berbagai masalah perkembangan anak, obesitas, ketidakaktifan fisik, dan kualitas tidur anak. Pertimbangan pengaruh positif dan negatif teknologi terhadap anak oleh Blackwell et al (Blackwell, Lauricella, & Wartella, 2014) dan American Pediatric (Pediatrict, 2013) kemudian mengatakan bahwa penggunaan teknologi pada anak harus mengikuti peraturan yaitu untuk usia kurang dari 2 tahun diharapkan anak tidak menggunakan teknologi, bahkan dibatasi penggunaannya untuk anak usia diatasnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa waktu bermain dengan screen pada anak diperbolehkan namun dengan tujuan untuk mengembangkan literasi dan waktu yang dibatasi.

Kesimpulan

Pembelajaran online dalam penggunaannya untuk anak usia dini masih mengalami perdebatan. Namun masa pandemic, mendorong guru prasekolah untuk kreatif menggunakan berbagai fasilitas teknologi untuk memberi pengajaran pada anak-anak. Meskipun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran online (yang pelibatannya dilakukan dengan computer dan internet) sesungguhnya memberi dampak yang beragam pada anak. Pembatasan penggunaan teknologi perlu dilakukan orang tua untuk membantu anak dapat berkembang secara optimal pada seluruh aspeknya. Namun anak perlu juga mengalami kemajuan teknologi dan memperoleh berbagai sumber informasi belajar dari teknologi tersebut.

Referensi

Ally, M., (2004) Theory and Practice of Online Learning. Chapter 1: Foundations of Educational Theory for Online Learning. Athabasca University.

Blackwell, C. K., Lauricella, A. R., & Wartella, E. (2014). Factors influencing digital technology use in early childhood education. Computers and Education, 77, 82–90. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2014.04.013

Liang, P.-H., & Johnson, J. (1999). Computers in the Schools : Interdisciplinary Journal of Whither the Book ? Whither the Book ? In Educational Computing in the Schools (pp. 37–41). https://doi.org/10.1300/J025v15n01

Mustafaoğlu, R., Zirek, E., Yasacı, Z., & Razak Özdinçler, A. (2018). The Negative Effects of Digital Technology Usage on Children’s Development and Health. Addicta: The Turkish Journal on Addictions, 5(2). https://doi.org/10.15805/addicta.2018.5.2.0051

Pediatrict, A. of. (2013). Children, adolescents, and the media. Pediatrics, 132(5), 958–961. https://doi.org/10.1542/peds.2013-2656

Schunk, D.H. (2004). Learning Theories: An Educational Perspective, Chapter 3. Upper Saddle River, NJ: Pearson

Scott, Jaclyn.   Don’t Forget the Little People: Vision for an Online Kindergarten Learning Community. The Journal (Technological Horizons In Education), February 2003. Diakses dari https://www.questia.com/read/1G1-105556409/don-t-forget-the-little-people-vision-for-an-online

Tracey, D. H., & Young, J. W. (2007). Technology and early literacy: The impact of an integrated learning system on high-risk kindergartners’ achievement. Reading Psychology, 28(5), 443–467. https://doi.org/10.1080/02702710701568488

Tulisan ini untuk memenuhi tugas Filsafat Penelitian Evaluasi Pendidikan, S3 PEP, 13 November 2020. Thanks to Mr. Prof. Marsigit.

Filsafat Pendidikan

Ideologi Pendidikan

Ideologi adalah seperangkat keyakinan dan sikap yang kurang lebih koheren yang dianggap benar, sebagai ‘akal sehat’ yang bertentangan dengan sistem kepercayaan lainnya (Hill, 2004). Dalam perkembangannya ideologi pendidikan mengikuti kebijakan pendidikan pada jamannya karena ideologi terlahir dari sejarah individu dan kelompok dan pengalaman hubungan dan kondisi material, sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat tertentu. Sejarah mencatat ada ideologi pendidikan yang dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan yang terjadi sejak 1945 hingga pertengahan tahun 1970an yaitu ideologi sosial demokrasi, ideologi progresif liberal, dan ideologi radikal kiri dilanjutkan ideologi radikal kanan kemudian dipengaruhi kebijakan pendidikan konservatif sejak 1979 hingga 1997 saat pemerintahan Willian Hague.

Ideologi kiri-kanan umum berkaitan dengan kebijakan ekonomi dan sosial termasuk didalamnya kebijakan pendidikan. Ideologi radikal kiri. Kelompok sosialis dan marxis egaliter dan para pendidik mengembangkan prinsip-prinsip dan kebijakan kiri radikal berdasarkan pencapaian yang jauh lebih setara, kontrol komunitas demokratis atas pendidikan, dan penggunaan negara lokal dan nasional untuk mencapai masyarakat anti-diskriminatif yang adil secara sosial.

Ideologi radikal kanan. Prinsip ideologi radikal kanan adalah kebijakan konservatif klasik “Thatcherite” dalam pendidikan yang terbagi menjadi dua yaitu neo liberalism dan neo conservative (Hill, 2004). Prinsip pendidikan pada neo liberalism yaitu mengarah pada ideologi pasar bebas, sekolah gratis,dan privalisasi pendidikan. Neo konservatif dengan prinsip tradisi (monarki) dan keluarga tradisional (ada penikahan, anti homoseksual), kembali kedasar dalam perilaku moral dan hubungan murid dan guru, monokulturalisme, otoriter, dan ada kontrol sosial, elitism dan hirarkikalisme. Prinsip umum dalam pandangan neo liberalism dan neo conservative yaitu pelayanan public, socialism/Marxist egaliterisme, liberal progressive, dan pentingnya aktivitas praktik, seperti pengajaran dan pendidikan guru awal.

Ideologi sosialisme adalah ideologi sayap kiri yang didasarkan pada kebaikan kolektif ekonomi dan keadilan sosial, untuk mendukung orang yang bekerja dan keluarganya. Sosial radikal dan Maxist ingin mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Ideologi sosial demokrasi terjadi pada tahun 1945 hingga 1976. Prinsip ideologi sosial demokrasi dalam pendidikan yaitu  persekolahan yang komprehensif, perluasan kesempatan dan penyediaan pendidikan, keterlibatan masyarakat dalam sekolah, ada kontrol masyarakat dalam pendidikan, kurikulum dan sistem pendidikan yang mengakui masalah keadilan sosial dan menuju masyarakat yang lebih adil, guru berwibawa, namun relative demokratif dan tidak otoriter, menyadai adanya dampak sosial yang tidak setara pada prestasi siswa, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan ekonomi dan masyarakat serta individu.

Ideologi liberal progresifme yaitu ideologi radikal kanan di tahun 1970an, paradigma ini dominan untuk persekolahan dasar, dan pendidikan guru di dasar. Ideologi ini berpusat pada anak dan mendidik seluruh anak, mengembangkan emosi/afektif selain perkembangan kognitif. Ideologi ini menekankan bahwa anak berhak untuk aktif dalam proses belajar, kesiapan untuk belajar, kurikulum dikembangkan berdasarkan topik yang multidisiplin, diorganisasikan secara integrated, relevan dengan kontekstual anak, guru sebagai pembimbing untuk memperoleh pengalaman pendidikan, guru sebagai teman, belajar menemukan, tes yang sedikit kompetitif, mendukung pembelajaran kooperatif dan kelompok dari pada kompetitif, sistem persekolahan bertujuan untuk memajukan individu,

Hakikat dan Tujuan Pendidikan

Kata ‘pendidikan’ dapat berasal dari salah satu dua kata Latin atau mungkin, dari keduanya. Ini adalah educere, yang berarti ‘memimpin keluar’ atau ‘untuk melatih’ dan educare yang berarti ‘melatih’ atau ‘menyehatkan’. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu cara untuk membawa seseorang menjadi lebih baik dalam bentuk melatih atau melalui pendampingan, memberi kebebasan pada setiap manusia untuk mengeksplorasi pengetahuannya dan mengembangkannya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Tujuan pendidikan dibedakan menjadi dua yaitu tujuan individu dan sosial. Tujuan pendidikan untuk kebutuhan individu yaitu pendidikan membantu setiap individu untuk mengembangkan diri, mengembangkan budayanya, memberi kesempatan individu untuk memiliki kemampuan untuk masuk dalam lingkungan masyarakat melalui pekerjaan. Untuk tujuan kebutuhan masyarakat yaitu mendukung perkembangan ekonomi, untuk melestarikan budaya sosial, dan untuk menghasilkan warga negara yang baik. Peningkatan sumber daya manusia Indonesia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan sudah menjadi kebutuhan setiap negara untuk membantu meningkatkan kemajuan bangsa dari berbagai bidang. Untuk itu, negara memiliki kewajiban dalam memberikan pendidikan untuk semua masyarakat. Di Indonesia, warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan (UUD pasal 3` ayat 1 dan 2) dan tercantum pula bahwa semua masyarakat mengikuti program wajib belajar dari usia 6 tahun sampai 21 tahun (permendikbud No.19 tahun 2016 pasal 2a). Masyarakat Indonesia harus menyiapkan generasi berikutnya untuk terus mengembangkan peradaban melalui proses pendidikan.  Oleh karena itu pendidikan berfungsi sebagai transfer budaya bagi generasi berikutnya.

Hakikat Ilmu Pendidikan

Tujuan pendidikan yang telah tercantum pada bagian sebelumnya kemudian diturunkan dalam berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Terdapat fakta-fakta, konsep, serta teori yang mendasari bidang ilmu tertentu. Pengetahuan tersebut diperoleh dari berbagai bukti empiris sehingga ilmu tersebut diperoleh. Terdapat tiga syarat suatu studi dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu (Muhadjir, 1999), yaitu pertama, memiliki objek yang eksplisit dari disiplin lain. Kedua, memiliki struktur atau sistematika yang juga secara eksplisit dari disiplin lain yang dikembangkan secara kritis. Ketiga, memiliki metodologi pengembangan yang menekankan upaya pemaknaan. Tiga syarat tersebut membawa sebuah aktivitas sosial yang kemudian berguna serta bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia dan perkembangannya.

Misalnya, ilmu pendidikan. Pendidikan merupakan ilmu karena pendidikan memenuhi tiga syarat tersebut. Objek pendidikan yaitu kumulasi aktivitas pendidikan seperti menuntun-melayani, mengeluarkan potensi, mengembangkan, membentuk, dan mempersiapkan (Muhadjir, 1999). Struktur atau sistem ilmu pendidikan yaitu terdiri dari empat komponen pokok yaitu kurikulum, subjek didik, pendidik, dan kegiatan belajar mengajar. Metodologi pengembangan ilmu pendidikan ada tiga yaitu metodologi berpikir, metodologi pemaknaan, dan metodologi mengkonstruk teori (Muhadjir, 1999). Proses berpikir yang dilakukan oleh para ahli mengarah pada langkah-langkah metodologi tersebut dilakukan. Ilmu pendidikan merupakan aktivitas sosial yang melibatkan peserta didik dengan para pendidik serta mampu menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan pendidikan secara langsung atau bidang lain yang mempengaruhinya.

Aktivitas yang mendukung Ilmu Pendidikan

Ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu dalam pelaksanaannya seharusnya membentuk pola hubungan dalam bentuk aktivitas yang membantu menghubungkan antara ilmu pendidikan dengan kehidupan rill, dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada sesuai dengan bidang ilmu pendidikan sesuai dengan pendekatan sistematik sehingga memudahkan perluasan ilmu pendidikan pada penemuan hal baru yang didasarkan dari berbagai penelitian dan investigasi. Aktivitas ilmu pendidikan secara empiris itu kemudian dikomunikasikan dengan berbagai cara, misalnya, dalam bentuk artikel yang dipublikasikan pada jurnal internasional dan nasional atau kegiatan-kegiatan diseminasi dalam bentuk seminar internasional dan nasional, penyuluhan, pengabdian masyarakat, pelatihan dan lain sebagainya.

Nilai-nilai dalam Ilmu Pendidikan

Ilmu pendidikan memiliki nilai-nilai moral yang dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan normative dan nilai hidup. Nilai tersebut dibedakan dalam bentuk hubungan vertical dan horizontal. Nilai-nilai dalam ilmu pendidikan dibedakan menjadi tiga yaitu nilai dasar, nilai inti, dan nilai instrumental (Muhadjir, 1999). Nilai dasar berupa etiket, kebajikan, dan nilai praktik.  Nilai inti yaitu mencangkup harkat, martabat, dan keunggulan. Nilai-nilai lain termasuk nilai instrumental sehingga nilai dapat berpengaruh secara instrinsik, ekstrinsik dan sistemik (Sam & Ernest, 1997). Nilai intrinsic yaitu nilai yang terselubung. Ketika kita mempelajari satu ilmu, secara tidak langsung ilmu tersebut membentuk diri kita secara tidak langsung. Nilai ekstrinsik yaitu nilai yang terbentuk terlihat nyata dan dibawa oleh ilmu tersebut. Misalnya, nilai yang terkandung dalam matematika membantu siswa untuk memiliki keterampilan problem solving. Nilai sistemik yaitu nilai yang mempengaruhi tidak hanya siswa namun juga setiap komponen yang berkaitan didalam ilmu tersebut. Ilmu pendidikan mengandung nilai terselubung, dan nilai tersebut secara langsung mempengaruhi seseorang bahkan mempengaruhi komponen yang ada diluar bidang ilmu pendidikan. Misalnya, ilmu pendidikan bernilai membentuk seseorang untuk menjadi manusia bermartabat, dan beretika, mahluk cendekia, nilai ini secara langsung merubah kepribadian peserta didik dan menjadikan peserta didik, warga negara yang baik. Perubahan ini kemudian memperbaiki pula kualitas sumber daya manusia yang dapat dilihat dari berbagai aspek ekonomi, dan sosial.

Hakikat Peserta Didik

Peserta didik merupakan subjek ilmu pendidikan. Peserta didik memiliki karakteristik yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya, seperti, siswa memiliki berbagai potensi dan bakat yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, kompetensi yang berbeda, budaya yang berbeda, serta usaha yang berbeda. Jika siswa dikatakan belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, maka pendidik berperan untuk membantu anak didik agar memiliki pengetahuan tersebut dengan berbagai cara. Namun tidak hanya pengetahuan yang perlu dikembangkan oleh anak didik, namun pula karakternya. Pemebentukan karakter pada anak dapat pula dilakukan dengan berbagai strategi kreatif. Ketika aspek kognitif, afektif, dan psikomotor anak didik sudah berkembang dengan baik, maka anak dapat mengembangkan sendiri kemampuannya dalam berbagai situasi kontekstual yang dihadapi dan mampu mengembangkan diri secara komprehensif, serta pada akhirnya mendapat sertifikat bukti kelulusan dari proses belajar yang telah dilalui.

Hakikat Belajar

Aktivitas anak didik adalah aktivitas belajar. Belajar merupakan bentuk kegiatan yang diperoleh dari kata “kerja” atau kerja keras. Dahulu seseorang yang belajar menggunakan kertas, pensil dan melakukan latihan rutin, atau drill. Selain itu belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat komplek. Berbagai teori belajar mempengaruhi praktik pengajaran dan pendidikan, misalnya teori koneksionisme, teori conditioning, teori gestalt, dan teori medan. Melalui belajar, peserta didik dapat memahami konsep-konsep yang dipahami dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan melakukan berbagai kegiatan eksplorasi untuk menggali dan menemukan sesuatu yang baru. Pada akhirnya, kegiatan belajar itu kemudian menjadi kesadaran diri dan menjadi kebutuhan diri sendiri, oleh Muhadjir (1999) ini disebut sebagai belajar tiada akhir.

Hakikat Mengajar

Mengajar adalah penataan situasi belajar. Kegiatan penataan situasi belajar dibedakan menjadi dua yaitu pengelolaan belajar dan pengelolaan kondisi belajar (Muhadjir, 1999). Mengajar merupakan upaya untuk membagi dan membangun pengetahuan, menata situasi belajar yang mendukung aktivitas mengajar, misalnya memberi motivasi baik eksternal ataupun dalam bentuk internal, menumbuhkan keterlibatan anak secara aktif dalam proses belajar, mendorong siswa untuk mampu melakukan investigasi terhadap sesuatu, mengembangkan kemampuan atau potensi siswa, memfasilitasi kebutuhan peserta didik, dan memaparkan sesuatu agar dapat dipelajari oleh siswa.

Pembelajaran terjadi melalui praktik dan pengamatan. Belajar dengan mengkombinasikan pengalaman melalui pengamatan dan praktik sangat diperlukan dalam pembelajaran di sekolah (Schunck, 2012). Peran guru membantu anak untuk menggali sesuatu, menyelesaikan masalah, mengembangkan ingatan, melatih, mengajak anak untuk berdiskusi, melakukan kegiatan praktek, mengembangkan dan memberikan fasilitas pada anak agar anak memperoleh berbagai pengetahuan dari praktik dan pengamatannya.

Hakikat Sumber Belajar

Fasilitas yang digunakan oleh guru juga sangat bervariasi sangat bervariasi, diawali dengan penggunaan papan tulis, kapur, dan anti kalkulator, merupakan sumber-sumber belajar yang digunakan pada jaman industrial. Guru merupakan sumber utama. Penolakan penggunaan teknologi (pada waktu itu kalkulator) karena teknologi tidak membantu anak untuk berpikir, namun secara instant dan tidak menghargai proses. Kemudian mulai berkembang dengan adanya perangkat pembelajaran yang berperan dalam pembelajaran, salah satunya dengan teknologi.  Penggunaan teknologi dapat dilakukan ketika konsep sudah dimiliki siswa terlebih dahulu. Ruang kelas yang kaya akan berbagai sumber belajar kemudian menjadi solusi untuk memudahkan siswa dalam mengeksplorasi lingkungannya untuk belajar secara mandiri. Selain pengembangan akademik, keterampilan sosial juga diperlukan siswa dalam menghadapi lingkungan masyarakat. Guru berperan dalam mengembangkan lingkungan belajar yang membawa siswa untuk mengenal dan memiliki keterampilan sosial.

Hakikat Asesmen

Penilaian/asesmen adalah suatu upaya formal untuk menentukan status siswa dalam kaitannya dengan variable pendidikan yang menajdi fokus penelitian (Popham, 2008). Kemajuan peserta didik hanya dapat dilihat melalui penilaian. Ada berbagai alat assessment untuk melakukan pengukuran terhadap ketercapaian prestasi siswa. Tes yang dilakukan oleh lembaga diluar sistem pedidikan di Indonesia juga dapat digunakan sebagai tolak ukur yang mampu mempengaruhi kebijakan, karena penilaian skala besar tersebut dapat pula membantu pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Misalnya tes PISA, atau tes PIRLS. Selanjutnya, penilaian terbagi atas dua yaitu penilaian sumatif, dan penilaian formatif. Penilaian sumatif biasanya digunakan untuk mengukur ketercapaian akhir anak. Penilaian formatif digunakan untuk mengukur kemajuan belajar anak. Dalam kedua penilaian tersebut, penilaian formatif sesungguhnya lebih berperan dalam memperbaiki prestasi anak, karena hasil kemajuan peserta didik kemudian digunakan untuk memperbaiki pembelajaran dengan strategi dan metode yang berbeda. Penilaian tersebut dapat diperoleh melalui penilaian tes dan non tes. Penilaian non tes atau penilaian kinerja sering pula digunakan untuk mengukur kemajuan siswa secara lebih otentik karena bentuk penilaian yang dilakukan berupa unjuk kerja. Penilaian ini (tes maupun non tes) kemudian digabungkan dalam bentuk penilaian utuh dalam bentuk portfolio. Penilaian ini hendaknya dilakukan secara kontekstual dan sesuai dengan pembelajaran bermakna yang bisa secara sosial membantu peserta didik untuk dapat menghubungkan antara materi belajar dan kehidupan nyata.

Hakikat Masyarakat 

Keberagaman masyarakat sangat mempengaruhi bagaimana pendidikan tersebut dapat terjadi dan dilakukan. Pendidikan harus menghargai berbagai keberagaman yang ada. Di Indonesia, keberagaman sangat kental mewarnai sistem pendidikan, dimulai dari keberagaman suku, agama, dan ras, bahkan dari sisi sosial, ekonomi dan demografi. Untuk itu upaya mengatasi keberagaman di Indonesia yaitu dilakukan dengan membangun budaya lokal, agar siswa siap memasuki dunia kerja sesuai dengan budaya lokal yang ada. Perbedaan karakteristik budaya lokal, membuat pengembangan kurikulum nanti akan berbeda sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (Mi, 2020). Dahulu Indonesia tidak menyadari keberagaman tersebut sebagai salah satu cara untuk memajukan masyarakat, karena keberagaman juga merupakan warisan budaya yang sangat kaya. Sistem pembelajaran monokultur yang dulu menjadi kebijakan pendidikan berdampak buruk pada pengabaian potensi daerah dan kegagalan lulusan untuk masuk dalam masyarakat kerja yang sesuai dengan budaya lokalnya (Mulkhan, 2007). Model masyarakat yang sentralistik kemudian berubah menjadi desentralisasi, sehingga pendidikan desentralisasi yaitu pelimbahan wewenang pada pemerintah daerah untuk menentukan merencanakan, mengambil keputusan, dalam mengatasi masalah pendidikan (Ervanudin dan Widodo, 2016). Salah satu isi kebijakannya yaitu tertuang dalam PP No. 25 tahun 2000 yang mengatakan bahwa merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk mengembangkan standar kompetensi lulusan, pengaturan kurikulum, dan hasil belajar. Hal ini menjadi solusi yang dapat diterima dan mendukung karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat pluralis karena keberagaman juga merupakan modal sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk maju. Pelibatan masyarakat untuk berperan aktif dalam pendidikan juga dapat mendukung tercapainya pendidikan yang berkualitas.

Hakikat Kurikulum

Ideologi pendidikan sangat berpengaruh pada kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat komponen yang saling sinergis untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Schunk, 2012). Kurikulum kemudian digunakan sebagai alat untuk mencapai pendidikan. Perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi yang kemudian menjadi desentralisasi kemudian membawa perubahan pula dalam nuansa kurikulum. Dahulu kurikulum di Indonesia memisahkan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Kegagalan peserta didik dalam memahami konteks materi dalam satu kesatuan yang utuh dan kebergunaannya dalam kehidupan kemudian menjadikan perubahan kebijakan kurikulum yang mengaitkan satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain. Proses belajar di sekolah tidak dapat dianggap sebagai suatu kegiatan formal yang tidak berguna dalam kehidupan sehari-hari siswa. Kurikulum kemudian berubah menjadi kurikulum yang membantu anak untuk menjadi masyarakat pebelajar, ada interaksi sosial, dan melibatkan teknologi didalamnya untuk membantu anak dapat mengikuti perkembangan revolusi industry 4.0. 

Pengembangan Kurikulum Berbasis Asesmen

Pengembangan kurikulum berdasarkan asesmen diharapkan dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi yang mengarah pada tujuan umum dan khusus pendidikan. Dalam pengembangannya, kurikulum harus dibangun berdasarkan karakteristik individu yang ada. Keberagaman masyarakat Indonesia kemudian menjadi pilihan pengembangan kurikulum berdasarkan karakteristik budaya lokal masing-masing daerah termasuk karakteristik anak didik. Memperhitungkan karakteristik anak didik kemudian menjadi hal utama bagi guru dalam mengembangkan kurikulum. Kemudian penentuan tujuan, pengembangan kurikulum harus mengacu pada tujuan tertentu baik tujuan nasional atau kebijakan daerah masing-masing. Misalnya, pengembangan kurikulum berdasarkan tujuan muatan lokal. Hasil penjabaran tujuan tersebut kemudian diturunkan dalam langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam rancangan pembelajaran atau materi belajar. Dalam pelaksanaannya, ketika kurikulum tersebut telah masuk dalam proses pembelajaran, guru dapat melihat kemajuan peserta didik dengan melakukan refleksi terhadap pembelajaran melalui penilaian yang diberikan kepada siswa. Siswa dapat pula melakukan kritik terhadap pengembangan kurikulum yang dilakukan melalui diskusi dan berbagai pertanyaan siswa, atau bahkan jajak pendapat, tentang berbagai kebutuhan masyarakat terhadap lulusan. Tahap selanjutnya adalah melakukan perbaikan dalam pengembangan desain pembelajaran melalui berbagai strategi dan metode, bahkan tinjauan ulang kembali pada kurikulum, dan kesesuaiannya dengan kebutuhan masyarakat terhadap lulusan. Secara utuh, kurikulum kemudian dapat membantu peningkatan sumber daya masyarakat melalui setiap kebutuhan masyarakat dan jamannya serta kebutuhan masing-masing individu.

Referensi

Dave Hill. 2004. Schooling and Equality: Fact, Concept and Policy. (google books)

Winch & Gingell, 1999. Key Concepts in The Philosophy of Education.

Muhadjir. 1999. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin

Schunk, D.H. 2012. Learning Theories An Educational Perspective. Boston: Pearson Education.inc.

Popham, W.J. 2008. Classroom Assessment. What teachers need to know. Boston: Pearson Education.

Sam, L.C., and Ernest, P. 1997. Values in mathematics education: what is planned and what is espoused? In British Society for Research into Learning Mathematics (BSRLM), Proceedings of the Day Conference held at University of Nottingham, 1 March 1997. (pp.37-44

Mi. 2020. Sistem Pendidikan yang mengakomodasi keberagaman. Diakses dari : https://mediaindonesia.com/read/detail/310503-sistem-pendidikan-yang-mengakomodasi-keberagaman

Mulkhan. 2007. Pendidikan monokultur versus multikultur. Diakses dari http://lkassurabaya.blogspot.com/2007/08/pendidikan-monokultur-versus.html

Ervanudin dan Widodo. 2016. Desentralisasi pendidikan dan peran aktif masyarakat menuju pendidikan berkualitas. Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/307088194_Desentralisasi_Pendidikan_dan_Peran_Aktif_Masyarakat_Menuju_Pendidikan_Berkualitas

Fadli. 2020. Peran Modal Sosial dalam Pendidikan Sekolah. Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/341907855_Peran_Modal_Sosial_dalam_Pendidikan_Sekolah

Kritik Atas Akal Budi Murni Immanuel Kant

Kita dapat memikirkan sesuatu tanpa terlebih dahulu memperoleh pengalaman tentang apa yang kita pikirkan. Sikap mental tersebut disebut sebagai pemahaman. Pemahaman terbagi menjadi dua yaitu objek pemahaman murni, dan pemahaman murni itu sendiri. Kita dapat memikirkan dan memahami sesuatu tanpa mengalami terlebih dahulu oleh Immanuel Kant itu disebut kemampuan pikiran atau kemampuan akal budi. Metafisika adalah satu-satunya ilmu yang mengakui kesempurnaan, bentuk inventasi pikiran (akal budi) murni yang tersusun secara sistemantis. Akal budi yang dihasilkan dari dirinya sendiri tidak bisa disembunyikan tetapi harus dijelaskan oleh akal budi itu sendiri. Ini menjadi sejarah revolusi intelektual.

Jaman dahulu peneliti belajar bahwa akal budi hanya dapat merasakan sesuatu yang dibuatnya setelah memperoleh pengalaman. Dampak dari pemikiran ini, yaitu penilaian dilakukan menurut hukum sebangun, dan memaksa alam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Untuk itu, akal budi harus mendekati alam dalam menerima informasi, namun bukan berarti alam dapat menjawab semua kebutuhan akal budi terhadap begitu banyaknya pertanyaan.

Untuk itu metafisika adalah ilmu murni yang sepenuhnya independent dari dokrin tentang pengalaman. Sesungguhnya pengalaman adalah modus kognisi yang membutuhkan pemahaman. Metafisika adalah konsep, akal budi adalah fakta dari metafisika. Kemampuan kognisi tidak dapat melampaui batas pengalaman. Metafisika adalah ilmu murni spekulatif yang benar-benar menempati posisi terisolasi dan sepenuhnya independent dari doktrin tentang pengalaman. Sesungguhnya pengalaman itu sendiri merupakan modus kognisi yang membutuhkan pemahaman. Metafisika berkaitan dengan konsepsi belaka. Akal budi adalah muridnya metafisika. Kemampuan kognisi kita tidak dapat melampaui batas pengalaman yang memungkinkan namun justru merupakan objek yang paling penting dari ilmu pengetahuan ini.

Ilmu pengetahuan kritis ini tidak bertentangan dengan prosedur dogmatis mengenai akal budi dalam kognisi murni karena kognisi murni harus selalu bersifat dogmatis yaitu harus berada dalam batasan yang ketat dalam prinsip-prinsip apriori yang pasti, tetapi untuk dogmatism yaitu anggapan bahwa sangat mungkin untuk membuat kemajuan dengan kognisi murni, berasal dari konsepsi filsafat berdasarkan prinsip akal budi telah lama terbiasa menggunakannya tanpa terlebih dahulu bertanya dengan hal apa dan dengan alasan apa ia muncul ke dalam prinsip-prinsip ini.

Pengetahuan dimulai dengan pengalaman itu sudah pasti. Namun tidak semua pengetahuan muncul dari pengalaman. Apakah ada pengetahuan yang bukan dari pengalaman dan kesan indera? Ada, pengetahuan ini disebut apriori. Pengetahuan apriori tidak diperoleh secara langsung dari pengalaman, tetapi dari aturan umum, yang bagaimanapun kita telah memilikinya sendiri yang berasal dari pengalaman. Pengetahuan apriori berada dalam lingkup kepahaman yang tidak bersifat independent. Lawan dari pengetahuan murni adalah pengetahuan empiris atau disebut sebagai pengetahuan aposteritori yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman.

Pengetahuan apriori dibagi menjadi dua yaitu ada yang murni dan ada yang tidak murni. Pengetahuan apriori murni adalah pengetahuan yang tidak ada unsur empiris didalamnya. Misalnya, setiap perubahan memiliki sebab, adalah proporsi apriori, tetapi tidak murni karena perubahan adalah konsepsi yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman.

Bagaimana membedakan antara kognisi murni dengan kognisi empiris? Pertama, kita memiliki proposisi yang berupa gagasan berdasarkan konsep, hal itu tidak berdasarkan proposisi lain, kecuali jika satu sama lain saling melibatkan gagasan tentang kebutuhan tersebut, maka hal itu benar-benar bersifat apriori. Kedua, penilaian empiris tidak mutlak, tetapi hanya dapat diasumsikan dan merupakan kesimpulan induksi.

Kognisi berada di atas lingkup semua pengalaman, melalui konsepsi, semuanya berada di seluruh tingkat pengalaman sehingga tidak ada objek yang sesuai dan memperluas jangkauan penilaian kita. Terdapat dua penilaian yaitu penilaian analitis dan penilaian sintesis. Penilaian analitis (penilaian affirmative) adalah penilaian yang kita pikirkan yang berhubungan dengan identitas, sedangkan penilaian sintesis (penilaian augmentative) adalah penilaian yang dipikirkan tidak berhubungan dengan identitas. Contoh penilaian analitis yaitu buah apel. Yang dimaksud yaitu satu buah apel. Bukan buah yang lain. Sedangkan penilaian sintesis yaitu buah apel itu manis. Manis memberi keterangan tentang buah apel tersebut rasanya manis. Penilaian analitis bukanlah penilaian empiris namun berupa apriori sedangkan penilaian sintesis merupakan penilaian yang diperoleh dari pengalaman sehingga bersifat sintesis. Semua pendapat diperoleh dari pengalaman, untuk itu perlu penilaian yang tidak dipelajari dari pengalaman. Apakah itu bisa terjadi? Ya itu disebut sebagai sintesis apriori. Untuk itu, penilaian matematika, ilmu fisika, dan metafisika adalah bentuk sintesis apriori.

Kritik atas akal budi mengarah pada ilmu pengetahuan. Ilmu tidak bisa berkembang menjadi besar dan tangguh karena tidak memiliki hubungan dengan objek akal budi. Akal budi yang telah diperoleh dari pengalaman akan lebih mudah untuk berkembang dan menghasilkan objek yang melampaui batas pengalaman. Akal budi murni adalah kemampuan yang berisi prinsip-prinsip untuk memahami hal-hal yang benar-benar apriori. Transcendental merupakan istilah untuk semua pengetahuan yang tidak berhubungan dengan objek-objek dimana kognisi itu bersifat apriori. Sistem konsepsi ini disebut filsafat transcendental. Kritik transcendental bertujuan untuk mengkoreksi dan membimbing pengetahuan apriori.

Pengetahuan yang berhubungan dengan objek benda dan saling berhubungan dilakukan dengan cara intuisi. Intuisi bisa terjadi jika objek itu diberikan pada kita. Objek tersebut mempengaruhi pikiran kita dan disebut sensibilitas. Objek yang diterima oleh kita melalui indera tersebut kemudian membentuk pemahaman dalam pikiran sehingga muncul konsepsi. Instuisi yang berhubungan dengan objek dan penginderaan disebut intuisi empiris, sedangkan objek yang belum ditentukan oleh intuisi empiris tersebut dinamakan fenomena. Fenomena sesuai dengan penginderaan disebut materi. Efek fenomena yang diatur dibawah hubungan tertentu disebut bentuk. Namun tidak semua penginderaan yang diatur dalam asumsi bentuk tertentu tersebut disebut penginderaan. Dengan demikian fenomena itu aposteritori. Bentuk murni sensibilitas disebut intuisi murni. Ilmu tentang prinsip sensibilitas apriori itu disebut estetika transcendental, sedangkan ilmu yang berisi prinsip pemikiran murni disebut logika transendetal. Dalam ilmu estetika transcendental sensibilitas atau kemampuan inderawi harus diisolasi sehingga hanya ada intuisi empiris. Namun jika kebalikannya yaitu intuisi yang diperoleh secara indrawi yaitu intuisi murni dan fenomena ini merupakan sensibilitas kemampuan apriori. Intuisi inderawi murni sebagai prinsip pengetahuan apriori yaitu ruang dan waktu. Fenomena ada di dalam waktu.

Ruang bukanlah konsepsi yang diperoleh dari pengalaman luar, tidak merepresentasikan setiap sifat objek sebagai sesuatu yang ada dalam diri mereka, ruang merupakan representasi yang diperlukan secara apriori sebagai dasar bagi intuisi eksternal, ruang merupakan intuisi murni, dan ruang merupakan kuantitas yang ditentukan secara terbatas. Ruang adalah bentuk semua fenomena dari indera eksternal yaitu kondisi subjektif dari sensibilitas.

Waktu bukanlah konsepsi empiris, waktu bukanlah sesuatu yang hidup dalam dirinya sendiri atau melekat pada benda, waktu adalah bentuk perasaan internal yaitu berasal dari intuisi diri dan keadaan internal, waktu adalah kondisi formal apriori dari semua fenomena. Perubahan hanya terjadi dalam waktu, dan waktu harus menjadi sesuatu yang nyata, waktu adalah bentuk nyata dari intuisi internal kita.

Jadi jika ilmu tentang sensibilitas itu estetika, sedangkan ilmu pemahaman disebut logika. Logika terbagi menjadi dua yaitu logika umum (logika elemental) dan logika khusus (pemahaman). Logika umum bersifat murni dan dapat diterapkan. Logika umum tidak harus berhubungan dengan apapun, kecuali pikiran. Sedangkan logika murni yaitu tidak bersifat empiris, tidak berpengaruh pada norma pemahaman.

Logika umum terbagi menjadi dua yaitu logika analitis dan logika dialektis. Logika disebut juga uji kebenaran. Kebenaran adalah kesesuaian antara kognisi dengan objeknya. Logika analitis yaitu kesesuaian kognisi dengan hukum universal dan pemahaman dan akal budi formal atau kondisi negatif dari semua kebenaran. Logika dialektika yaitu kesesuaian kognisi tidak hanya dengan hukum logis, namun didasarkaan pada informasi dan pembuktian yang diuji menurut hukum logika. Dengan demikian Logika transcendental dibagi menjadi dua yaitu transcendental analitik dan transcendental dialektis. Transcendental analitik yaitu bentuk logis kognisi berisi asal usul konsepsi apriori, yang merepresentasikan objek sebelum adanya pengalaman, atau sesuatu yang menunjukkan kesatuan sintesis yang menjadikan kognisi empiris pada sebuah objek itu menjadi mungkin. Transcendental dialektis yaitu kognisi yang bersifat apriori, asal usul kognisi tertentu yang ditarik dari akal budi murni dan disimpulkan, objeknya tidak diberikan secara empiris, dan berada diluar jangkauan pemahaman. 

Akal budi murni tidak pernah berhubungan langsung dengan objek namun berhubungan dengan konsepsi dalam pemahaman kita. Akal budi murni mengumpulkan ide-ide transcendental dalam kognisi tersebut menjadi satu sistem, menghubungkannya dengan kognisi terhadap diri dan terhadap dunia yaitu terhadap subjek, objek sebagai sebuah fenomena, dan dengan semua benda secara umum. Objek ide transcendental adalah sesuatu yang dalam konsepsi tidak kita miliki, namun harus mampu disajikan dan diintusikan dalam sebuah pengalaman yang mungkin ada. Dengan demikian kita tidak memiliki pengetahuan tentang sebuah objek yang benar-benar berhubungan dengan sebuah gagasan, walaupun secara konsepsi kita memilikinya.

Tesis adalah kumpulan proposisi dogmatis. Antitesis merupakan pernyataan dogmatis yang sebaliknya, kontradiksi dari kognisi yang bersifat dogmatis. Antithesis transcendental yaitu penyelidikan terhadap antinomy akal budi murni, penyebabnya, dan hasilnya. Antinomy yaitu konflik hukum akal budi murni. Konflik ide transcendental, terjadi antara tesis dan antitesis.  Empat konflik ide transendetal yaitu pertama, tesis, dunia memiliki awal dalam kaitannya dengan waktu, dan juga terbatas dalam kaitannya dengan ruang. Antithesis, dunia tidak memiliki awal dan tidak ada batas dalam ruang, tetapi dalam kaitannya dengan waktu dan ruang bersifat tak terbatas. Kedua, tesis, setiap substansi komposit di dunia terdiri dari bagian yang sederhana, dan tidak ada satupun yang tidak sederhana, maupun yang terdiri dari bagian-bagian yang sederhana. Antithesis, tidak ada benda di dunia yang terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak ada di dunia ini substansi apapun yang sederhana. Ketiga, tesis, hukum alam bukanlah satu-satunya kausalitas yang merupakan unsur asal-usul fenomena dunia, kebebasan juga merupakan salahsatu fenomena yang harus diperhitungkan. Antithesis, tidak ada sesuatu, termasuk kebebasan, atau segala sesuatu di dunia terjadi sesuai dengan hukum alam. Keempat, tesis, bicara tentang dunia dan hubungannya, ada sebuah wujud yang mutlak diperlukan. Antithesis, sebuah wujud yang mutlak diperlukan tidak ada, baik di dunia atau yang berasal darinya sebagai penyebabnya. Idealisme transcendental sebagai kunci solusi dialektika transcendental. Thanks to Mr. Prof, Marsigit.

Tulisan ini untuk memenuhi tugas 5 remidi Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 30 September 2020.

A priori dan A posteritori

Anak      : Ibuk, api itu panas ya?

Ibu         : Iya nak, kok kamu tahu?

Anak      : Iya, adik kemarin tidak sengaja pegang panci yang ada di atas kompor?

Ibu         : oya, nak, tanganmu tidak terluka kan?

Anak      : sakit si bu, tapi sedikit.

Ibu         : berarti adik pegang pancinya ya? Bukan apinya ta? Kok adik tau kalau api itu panas, kan adik tidak pegang apinya?

Anak      : o Iya ya buk, adik kan tidak pegang apinya. Kok adik bisa bilang api itu panas? Hehe

(adik berpikir agak lama)

Anak      : oya bu adik tau, kenapa adik bisa bilang api itu panas karena…emmm.. karena panci saja kena api panas, apa lagi api itu sendiri bu. Iya kan bu??

Ibu         : Iya betul sekali adik. Untuk memperoleh pengetahuan itu tidak selalu harus melalui pengalaman. Misalnya, untuk merasakan api itu panas, adik tidak harus meletakkan tangan di atas api kan? Coba kalau adik betul-betul melakukan itu, pasti sangat berbahaya dan tidak boleh dilakukan. Apa yang adik jelaskan tersebut disebut apriori.

Anak      : Apriori? Apa itu bu?

Ibu         : Apriori itu pengetahuan yang kita peroleh bukan dari pengalaman. Adik dapat mengatakan bahwa api itu panas bukan karena pengalaman langsung merasakan api kan? Tapi dari ketidaksengajaan adik memegang panci yang panas. Lalu adik melakukan proses berpikir dan akhirnya menyimpulkan bahwa api itu panas karena panci saja panas terkena api, apalagi api itu sendiri.

Anak      : o iya betul ya bu. 

Kringgggg…. (suara air yang mendidih didalam ceret)

Ibu         : Adik, tolong matikan kompornya ya..

Anak      : Iya ibu.              

Ibu         : Ingat hati-hati ya.. karena …

Anak      : karena pasti ceretnya panas.

Ibu         : kok adik tau kalau ceretnya panas dik?

Anak      : Karena adik pernah tidak sengaja pegang panci ibu yang panas itu waktu kemarin.

Ibu         : betul sekali. Pengalaman adik dengan panci panas, dan akhirnya tau kalau setiap benda yang berada di atas kompor dengan api menyala pasti akan panas juga itu disebut aposteritori. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman. Maka jangan coba pegang benda apapun dari atas kompor yang menyela ya. Pasti panas.

(Adik mematikan kompor)

Anak      : Buk, tapi kan walaupun adik tidak tau rasanya api, adik bisa tau dari benda yang ditaruh di dekat api. Itu kan juga bentuk pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman? Betul tidak bu?

Ibu         : Iya nak, itu juga pengalaman, pengalaman tentang apa yang kita pikirkan. Sikap mental tersebut disebut sebagai pemahaman.  Adik bisa berpikir bahwa api itu panas karena adik memahami rasa panas tersebut melalui panci yang panas, bukan secara langsung merasakan api.

Anak      : o begitu ya bu. Sebenarnya banyak ya yang adik pahami tapi adik tidak alami langsung pengalaman itu. Misalnya, tukang becak itu pasti keberatan kalau membawa penumpang apalagi kalau penumpangnya bawa barang besar-besar ya bu?

Ibu         : Iya, adik tahu bahwa tukang becak pasti keberatan tu bawa penumpang apalagi yang bawaannya banyak karena apa?

Anak      : Iya waktu itu, adik boncengi temen adik naik sepeda, setirnya terus belok-belok, adik keberatan buk, tidak kuat, lalu teman adik yang boncengi adik hehehe..

Ibu         : Iya begitulah rasanya kalau boncengi kalau terlalu berat. Apalagi tukang becak ya dik? (tersenyum). Dulu ya nak, sebelum ada yang menyampaikan bahwa kita dapat memiliki pengetahuan tanpa melewatinya dengan pengalaman, semua orang harus

Kita dapat memikirkan sesuatu tanpa terlebih dahulu memperoleh pengalaman tentang apa yang kita pikirkan. Sikap mental tersebut disebut sebagai pemahaman. Pemahaman terbagi menjadi dua yaitu objek pemahaman murni, dan pemahaman murni itu sendiri. Kita dapat memikirkan dan memahami sesuatu tanpa mengalami terlebih dahulu oleh Immanuel Kant itu disebut kemampuan pikiran atau kemampuan akal budi. Metafisika adalah satu-satunya ilmu yang mengakui kesempurnaan, bentuk inventasi pikiran (akal budi) murni yang tersusun secara sistemantis. Akal budi yang dihasilkan dari dirinya sendiri tidak bisa disembunyikan tetapi harus dijelaskan oleh akal budi itu sendiri. Ini menjadi sejarah revolusi intelektual.

Jaman dahulu peneliti belajar bahwa akal budi hanya dapat merasakan sesuatu yang dibuatnya setelah memperoleh pengalaman. Dampak dari pemikiran ini, yaitu penilaian dilakukan menurut hukum sebangun, dan memaksa alam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Untuk itu, akal budi harus mendekati alam dalam menerima informasi, namun bukan berarti alam dapat menjawab semua kebutuhan akal budi terhadap begitu banyaknya pertanyaan.

Untuk itu metafisika adalah ilmu murni yang sepenuhnya independent dari dokrin tentang pengalaman. Sesungguhnya pengalaman adalah modus kognisi yang membutuhkan pemahaman. Metafisika adalah konsep, akal budi adalah fakta dari metafisika. Kemampuan kognisi tidak dapat melampaui batas pengalaman

Metafisika adalah ilmu murni spekulatif yang benar-benar menempati posisi terisolasi dan sepenuhnya independent dari doktrin tentang pengalaman.

Sesungguhnya pengalaman itu sendiri merupakan modus kognisi yang membutuhkan pemahaman.  

Metafisika berkaitan dengan konsepsi belaka. Akal budi adalah muridnya metafisika.

Kemampuan kognisi kita tidak dapat melampaui batas pengalaman yang memungkinkan namun justru merupakan objek yang paling penting dari ilmu pengetahuan ini.

Ilmu pengetahuan kritis ini tidak bertentangan dengan prosedur dogmatis mengenai akal budi dalam kognisi murni karena kognisi murni harus selalu bersifat dogmatis yaitu harus berada dalam batasan yang ketat dalam prinsip-prinsip apriori yang pasti, tetapi untuk dogmatism yaitu anggapan bahwa sangat mungkin untuk membuat kemajuan dengan kognisi murni,berasal dari konsepsi filsafat berdasarkan prinsip akal buditelah lama terbiasa menggunakannya tanpa terlebih dahulu bertanya dengan hal apa dan dengan alasan apa ia muncul ke dalam prinsip-prinsip ini.

Beda pengetahuan Murni dan pengetahuan empiris.

Pengetahuan dimulai dengan pengalaman itu tidak diragukan lagi.

Namun tidak semua pengetahuan muncul dari pengalaman.

Apakah ada pengetahuan yang bebas dari pengalaman dan kesan indera? Ada, pengetahuan ini disebut apriori. 

Pengetahuan apriori tidak diperoleh secara langsung dari pengalaman, tetapi dari aturan umum, yang bagaimanapun kita telah memilikinya sendiri yang berasal dari pengalaman. Misalnya, anak dapat memperkirakan panci yang panas, tanpa perlu untuk memegang panci yang panas, karena anak tahu banyak tentang benda yang panas.

Pengetahuan apriori berada dalam sekuel kepahaman yang tidak bersifat independent. Lawan dari pengetahuan murni adalah pengetahuan empiris atau disebut sebagai pengetahuan aposteritori yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman.

Pengetahuan apriori dibagi menjadi dua yaitu ada yang murni dan ada yang tidak murni. Pengetahuan apriori murni adalah pengetahuan yang dengannya tidak ada unsur empiris yang menyertainya. Misalnya, setiap perubahan memiliki sebab, adalah proporsi apriori, tetapi tidak murni karena perubahan adalah konsepsi yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman.

Intelek manusia dalam keadaan yang tidak filosofis bahkan dikuasai oleh kognisi “apriori” tertentu.

Bagaimana membedakan antara kognisi murni dengan kognisi empiris?

Pertama, kita memiliki proposisi yang berupa gagasan berdasarkan konsep, hal itu tidak berdasarkan proposisi lain, kecuali jika satu sama lain saling melibatkan gagasan tentang kebutuhan tersebut, maka hal itu benar-benar bersifat apriori.

Kedua, penilaian empiris tidak pernah menunjukkan hal ketat dan mutlak, tetapi hanya dapat diasumsikan dan merupakan universalitas kompartif (dengan induksi).

Filsafat membutuhkan sebuah ilmu pengetahuan yang akan menentukan kemungkinan, prinsip, dan jangkauan pengethauan manusia secara apriori.

Sebelum sesuatu ada dalam pikiran kita sesuatu itu sebenarnya sudah ada. Imanuale Kant (1671), merupakan tokoh yang menengahi dunia realis dan idealis. Ia meragukan Tuhan, untuk mencari Tuhan. Ia juga menyadari bedanya mimpi dan kenyataan yaitu aku tidak bermimpi karena aku berpikir. Filsafat adalah olah pikir. Keinginan untuk mengetahui dunia dan semua yang ada didalamnya maka lihatlah pikiran kita sendiri. Jika engkau ingin mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri karena dunia itu sama persis dengan apa yang sedang engkau pikirkan (I Kant dalam Marsigit, 2014). Pikiran manusia dipengaruhi oleh pengalamannya akan sesuatu, ini disebut kebenaran (a posteritori). Misalnya, saya tahu api itu panas karena saya pernah merasakan hangatnya api unggun. Namun tidak semua yang ada dipikiran ternyata berasal dari pengalaman (a priori). Sesungguhnya yang belum kita pikirkan itu sudah ada. ini disebut sebagai sebuah kebenaran juga. Misalnya, kehadiran kita di dunia. Sebelum kita dilahirkan sebenarnya, sudah ada dalam catatan ilahi yang menakdirkan kita akan hidup, dan dilahirkan pada tanggal tertentu. Maka menurutnya, pengetahuan tidak hanya bersifat analitik namun juga sintetik. Bersifat analitik ketika kebenaran tersebut sudah ada dalam sesuatu. Bersifat sintetik ketika kebenaran tersebut ditambahkan pada sesuatu. Konsepnya yaitu sebenar-benarnya ilmu adalah perkawinan antara sintetik dan a priori. A priori sintetik yaitu kondisi yang diperlukan agar pengetahuan menjadi mungkin.

Ada benarnya, ketika saya menyadari bahwa apa yang saya baru pikirkan sekarang sesungguhnya itu sudah ada. Itu sangat jauh dari jangkauan cara saya berpikir. Betul, saya sangat setuju. Kadang saya sampai terheran, mengapa bisa seorang yang sangat revolusioner memikirkan sesuatu sebelum orang lain memikirkannya. Sesungguhnya itu bukan sesuatu yang baru karena sesungguhnya yang dipikirkan orang tersebut sudah ada, namun tidak terpikirkan. Itu bersifat sangat tetap dan kekal. Ketika kita mulai memikirkan sesuatu tersebut, tahulah kita bahwa itu sesungguhnya sudah ada. Perilaku sadar akan sesuatu yang tidak terpikirkan dan tidak terlihat itu disebut sebagai iman. Aliran ini disebut sebagai aliran realisme.

Terkadang kita hanya mengakui sebuah kebenaran ketika kebenaran tersebut sudah terjadi dan terlihat oleh kita. Sesuatu itu ada setelah terbukti secara fisik. Namun segala yang kita akui kebenarannya sangat terbatas, hanya terbatas pada pikiran kita. Padahal banyak hal yang tak terbatas yang sebenarnya ada, dan diakui sebagai sebuah kebenaran itu justru tidak pernah diakui keberadaannya. Aliran ini disebut sebagai aliran empirisme.

Tidak ada yang salah dalam kedua aliran tersebut. Semua mengandung kebenaran. Perdebatan antar kedua aliran itu tetap tidak berujung karena kedua aliran tersebut sama-sama berada dalam dunia yang berbeda. Dunia yang realis dan idealis. Tidak dapat seorang aliran empiris memahami jalan pikiran orang-orang dengan aliran realis, demikian pula sebaliknya. Untuk itu seorang yang bijak adalah seseorang yang berpikir sesuai dengan ruang dan waktu. Ketika ia adalah seorang realis maka berbicaralah dan pahamilah sudut pandangnya sebagai seorang realis. Demikian pula dengan seorang empiris, pahamilah cara berpikir mereka yang selalu perlu pembuktian dalam sesuatu.

Saya tidak bisa membayangkan jika didunia ini hanya hidup orang-orang yang berada pada dunia realis, maka kemajuan teknologi tidak akan ada. Demikian pula jika di dunia ini tidak ada orang-orang idealis, pasti ilmu pengetahuan tidak ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa hadirnya aliran-aliran empiris sesungguhnya berasal dari orang-orang idealis. Demikian pula sebaliknya, aliran idealis, sesungguhnya diwali dari sesuatu yang teramati secara emprik. Imanueal Kant (1671), merupakan tokoh yang menengahi dunia realis dan idealis. Ia meragukan adanya Tuhan karena secara kasat mata, Tuhan tidak nampak. Namun, karena keingintahuannya tentang sesuatu yang tetap dan kekal tersebut, maka Ia berusaha untuk mencari tahu tentang kebenaran tersebut. Proses mencari tahu tentang kebenaran tersebut merupakan bukti iman I Kant bahwa Tuhan itu ada. Keinginan aktif untuk mengetahui sesuatu tersebut disebut a priori sintetik.

Saya setuju dan sepertinya saya penganut aliran I Kant, saya sadar dan percaya pada sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan atau saya alami itu sesungguhnya sudah ada. Namun saya juga percaya pada sesuatu yang saya lihat dan alami sebagai sebuah kebenaran. Menyikapi kehidupan dari dua sudut pandang yang berbeda membantu saya memiliki perspektif yang berbeda pula dalam cara pandang seseorang. Terkadang saya sering kali menghakimi bagaimana seseorang berpikir dan bertindak. Atau bahkan saya sering membutuhkan pengalaman dan pembuktian empiris pada sesuatu hal untuk membuat saya yakin bahwa itu benar.

Saya seorang dosen PAUD dan orang tua yang memiliki dua anak yang masih dalam tahap kongrit menurut Piaget. Ketika mengajarkan pada anak-anak mahasiswa tentang tahap berpikir konkrit anak, saya menyarankan mereka untuk membawa anak-anak pada lingkungan kontekstual yang dapat dirasakan secara langsung (hands on experience). Demikian pula pada anak saya, saya paham bahwa kemampuan berpikir anak masih sangat konkrit. Saya katakan pada anak saya, “nak, pancinya jangan dipegang ya nak, ini panas”. Saya paham, tidak cukup sampai disana rasa percaya anak saya terhadap panci yang panas. Ada keinginan dari anak untuk mengetahui secara empiris bahwa panci itu panas. Pelan-pelan ia menyentuhnya dan merasakan sendiri bahwa itu panas. Saya renungkan, mungkinkah konsep berpikir sesuai dengan aliran empiris dan realis itu tergantung pada usia? Namun tidak juga, sampai usia dewasa pun seseorang bisa jadi sangat empiris dan memang terbangun dalam hidup yang idealis. Sampai sekarang pun mungkin saya juga termasuk orang yang empiris sampai akhirnya saya sadar, bahwa ketika saya menulis ini pun, segala tulisan yang ada serta ide yang saya miliki, sesungguhnya itu sudah ada (berarti ini realis bukan?).

Saya pun kadang kala tidak menyadari bahwa saya mendidik anak terbatas pada hal-hal yang terbatas, padahal kekuatan pikiran itu sangat tidak terbatas. Bukankah konsep kreativitas itupun merupakan sesuatu yang sangat tidak terbatas? Mengapa Imanuel Kant dapat berpikir begitu rupa tentang ini semua? Karena sesuatu yang belum ada itu sesungguhnya sudah ada. Momentum aliran filsafat modern ini membawa perubahan besar dalam kemajuan dunia. Ketika kedua aliran ini sesungguhnya ada dalam setiap diri manusia, namun sangat terbatas adanya. Siapa yang dapat menyelami pikiran Tuhan? Tidak ada, itu terlalu luas, dan terlalu dalam.

Kesadaran bahwa banyak hal dalam hidup saya yang belum terlintas dalam benak, namun kemudian muncul, dan menjadi gagasan yang harus dibuktikan secara empiric sebagai suatu pengalaman baru yang membangun hidup saya. Saya juga tidak tahu dari mana itu semua muncul dan kapan sampai pada pertanyaan, “kok bisa ya saya menulis ini, menulis itu?”, “Kok bisa ya, saya punya ide seperti ini dan seperti itu?”. Kapan itu dimulai? Saya tidak tahu, tiba-tiba itu terlintas saja. Berarti itu semua dalam dunia realis bukan?

Akhirnya saya paham dengan kata “the power of mind”. Pikiran manusia sesungguhnya sebuah kekuatan yang tak terbatas, manusia memilikinya sehingga terus menerus mengembangkan diri mencapai kesempurnaan, walaupun manusia itu tidak sempurna. Namun apa yang dipikirkan manusia tersebut merupakan bagian kecil dari apa yang sudah disediakan oleh Tuhan sang pencipta.

Kemajuan demi kemajuan akan terus terjadi dalam kehidupan manusia karena pikiran manusia yang tidak terbatas namun dalam keterbatasan. Banyak hal yang tidak dapat dipikirkan manusia atau bahkan belum terpikirkan oleh manusia sesungguhnya itu sudah ada. Mungkinkah menunggu ada seseorang yang akan memikirkannya dan kemudian direalisasikan? Pasti.

Kemajuan pendidikan yang awalnya hanya revolusi industry 1.0 hingga sekarang 4.0 merupakan sebuah bukti bahwa kedua aliran tersebut realis dan idealis menjadi satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dulu belum ada teknologi, sekarang sudah menggunakan teknologi. Dulu orang menggunakan daun, sebagai kertas untuk menulis, kemudian menggunakan batu, lalu ditemukannya kertas, alat-alat tulis, hingga akhirnya menulis menggunakan komputer. Ini merupakan sebuah bentuk kemajuan berpikir yang diawali dari sesuatu yang tidak ada kemudian menjadi ada.

Implikasinya bagi diri saya sebagai orang tua sekaligus sebagai pendidik yaitu ketika saya paham bahwa apa yang saya pikirkan sekarang adalah sesuatu yang terbatas, terbatas hanya pada pengalaman saya terhadap sesuatu termasuk belajar tentang filsafat ini, sesungguhnya saya memiliki sesuatu yang sangat tidak terbatas. Itu artinya sangat positivistic, saya bisa memotivasi anak dan murid saya untuk tidak hanya berpikir dari pengalaman diri dan orang lain, namun berpikirlah bahwa kita memiliki pikiran tak terbatas yang belum kita pikirkan. Setiap manusia memiliki kemampuan itu, belajarlah untuk memotivasi diri, dan bangkit untuk mencari tahu tentang banyak hal. Saya ingat bahwa kitab suci menuangkan banyak hal tentang filsafat. Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan yang mahakuasa? Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya, walupun orang yang berhikmat mengatakan bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya. Mintalah maka akan diberikan padamu, carilah maka engkau akan mendapat, ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Namun dari semua itu, awal pengetahuan itu adalah takut akan Tuhan. Selesai.

Tulisan ini untuk memenuhi tugas 5 Filsafat Penelitian Evaluasi Pendidikan, S3 PEP, dikumpulkan 30 September 2020.

Namun tulisan ini harus remedy, -jadi mungkin para pembaca akan menemukan salah konsep disini, mohon dimaafkan,- karena saya belum membaca dengan seksama buku rujukan Immanuel Kant “The Critique of Pure Reason”, buku keren sepanjang masa. Prof. Marsigit mengakuinya, beliau membahas tuntas tentang buku tersebut. Luar biasa. Disertasi beliau pun tentang itu. Saya pun mengakuinya. Buku ter keren yang saya baca. Kalian bisa baca artikel selanjutnya sebagai hasil remidi artikel saya yang kaya akan 1/4 kajian Immanuel Kant (karena bukunya tebal sekali..hiks hiks..Buku terjemahan, bahasa aslinya bahasa Jerman). Dunia pun mengakuinya hingga saat ini. Thanks to Mr. Prof. Marsigit sudah membawa kami berproses untuk mendalami asal mula pengetahuan yang berawal dari pikiran, bahwa segala sesuatu yang mungkin ada, bahwa itu akan ada.

Aliran-aliran dalam Filsafat dan Pendidikan

Dalam mempelajari ilmu tentang mendidik, sesungguhnya kita sedang berfilsafat. Berbagai aliran pendidikan melibatkan filsafat didalamnya. Untuk itu cerdas dalam berfilsafat adalah memahami ruang dan waktu (Marsigit, 2017). Filsafat adalah wadahnya pikiran karena filsafat adalah olah pikir (Marsigit, 2013).

Lalu apa itu filsafat pendidikan? Jawabannya berkaitan langsung dengan ontologi filsafat pendidikan yang mempelajari hakikat dan kedudukan filsafat pendidikan. Lalu bagaimana dengan asal mula, proses, dan macam dari filsafat pendidikan itu sendiri? Maka jawabannya yaitu bagaimana epistemology filsafat pendidikan. Adakah etik atau estetika dalam filsafat pendidikan? Ya, etik dan estetika fillsafat pendidikan diperoleh dari aksiologi pendidikan itu sendiri. Filsafat pendidikan sangat dipengaruhi perbedaan aliran-aliran pada jamannya.

Hidup manusia itu metafisik. Metafisik adalah sifat dibalik sifat, sifat mendahului sifat, sifat mengikuti sifat. Setelah yang ada akan ada lagi.  Sebelum yang ada akan ada lagi. Maju tidak selesai. Mundur tidak selesai. Karena manusia tidak sempurna. Manusia sempurna dalam ketidaksempurnaan. Keinginan manusia untuk mencari tahu tentang banyak hal menunjukkan ketidaksempurnaan manusia, namun untuk mencapai kesempurnaan tersebut, sebaiknya manusia perlu menyadari perbedaan antara dua dunia yaitu dunia ideal dan dunia realis.

Objek ontologis filsafat yaitu ada dan mungkin ada. Objek filsafat sangat mempengaruhi aliran filsafat itu sendiri. Berikut objek filsafat dan aliran filsafat tersebut (Marsigit, 2013) 

Objek FilsafatAliran Filsafat
objek bersifat berubahHeraklitosianisme
objek bersifat tetapPermenidesianisme
objek ada di luar pikiranRealisme atau relativisme
objek ada di dalam pikiranIdealism atau absolutism
objek bersumber dari pengetahuan berbentuk rasioRasionalisme
objek tersebut bersumber dari pengetahuan berbentuk pengalamanEmpirisme
objek tersebut bersumber dari pengetahuan tentang TuhanTeologi atau spiritualisme
objek tersebut bersumber dari pengetahuan tentang materiMaterialism
Objek yang dicari subtansiSubstansialisme atau esensialisme
Objek yang dicari adalah yang adaEksistensialisme
Objeknya manusiaHumanisme

Masing-masing aliran filsafat tersebut ada yang berseberangan atau juga sejajar. Berikut ini gambaran masing-masing aliran tersebut (Marsigit, 2013)

JenisAliran Filsafat
SejajarAliran Filsafat Kesejajarannya dengan filsafat lainnya Filsafat Permenidesianisme Filsafat Idealisme, Filsafat Absolutisme, Filsafat Formalisme, dan Filsafat Rasionalisme. Filsafat Heraklitosianisme Filsafat Realisme, Filsafat Relativisme, Filsafat Empirisisme dan Filsafat Pragmatisme.
Komponen tetap sekaligus berubahFilsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Kantianisme, Filsafat Modern, Filsafat Pancasila dan Filsafat Kontemporer
Saling bersebrangan (anti- tesis)Aliran filsafat Bersebrangan filsafat Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Materialisme dan Filsafat Humanisme Filsafat Spiritualisme.
Turunan dari filsafat lainnyaFilsafat yang didahului dengan neo, misal, Neo-liberalisme adalah turunan dari Filsafat Liberalisme, Neo-Kantianisme adalah turunan dari Filsafat Kantianisme

Lalu apa kaitannya aliran filsafat tersebut dengan filsafat pendidikan? Karena filsafat sangat terkait dengan ruang dan waktu, maka demikian pula dengan aliran pendidikan, mengikuti aliran perkembangan manusia sesuai dengan jamannya.

Untuk itu bermunculan berbagai pendidikan dengan aliran tertentu sesuai dengan ruang dan waktu perkembangan pikiran manusia, misalnya pendidikan idealism, hingga pendidikan socio constructionism. Thanks to Prof. Dr. Marsigit.

Tulisan ini untuk memenuhi tugas 3 Filsafat Penelitian Evaluasi Pendidikan, S3 PEP, 30 September 2020.

Profesionalisme Pendidik PAUD

Dipublikasikan di Jurnal PA UNY

Abstrak

Pendidikan anak usia dini merupakan awal dari pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi kunci dalam memperbaiki kualitas bangsa. Untuk mendapatkan hasil pembentukan anak yang berkualitas salah satunya didukung oleh pendidik yang profesional. Pendidik anak usia dini yang profesional memiliki ciri yaitu memiliki landasan keilmuan yang kuat tentang perkembangan anak dan belajar efektif, bersikap optimis dan memiliki pendekatan “aku bisa”, hangat dan memiliki empati, spontanitas dan fleksibel, memiliki keahlian dalam melakukan refleksi dan analisis, memiliki kemampuan untuk berkomuniksasi dengan banyak orang, memiliki kemampuan memimpin, bermain penuh dan mampu menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan, memiliki imajinasi dan kreativitas yang tinggi, mampu merancang program dan melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada analisis kebutuhan anak, dan kemampuan untuk secara terus menerus mendokumentasikan  serta melakukan penilaian pada perkembangan pada anak.

 

  1. Pendahuluan

Jumlah pendidik anak usia dini di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani (Direktorat PAUD, 2011). Namun kuantitas pendidik tersebut tidak pula diikuti oleh kualitas (kompetensi) pendidik anak usia dini. Pernyataan ini disampaikan oleh Kasi PAUD Formal Subdit PTK PAUD Direktorat PTK PAUDNI Kemendikbud Alhidayati Aziz (Anggun Puspita, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh sejumlah 87,3 persen guru PAUD tidak memenuhi standar kompetensi. Standar kompetensi yang dimaksudkan yaitu dari standar kualifikasi akademik dan empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru PAUD yaitu kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian. Hal ini terjadi karena pendidik anak usia dini berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda, pendidik memiliki keterbatasan dalam mengakses program pengembangan diri, dan keterbatasan dukungan finansial (Redaksi, 2012). Rendahnya standar kompetensi pendidik PAUD terlihat dari kualifikasi akademik pendidik. Salah satu kendala dari rendahnya kualitas guru tersebut karena rata-rata guru PAUD bukan dari program studi atau jurusan PAUD (Anggun Puspita, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh sejumlah 14 persen pendidik PAUD berpendidikan sarjana namun selebihnya berlatar belakang pendidikan SMA, dan D2 bahkan ada pula yang hanya berdasarkaan pengalaman (Rini, 2012).

Slamet Suyanto mengatakan bahwa pendidik PAUD hendaknya profesional (2005; 11). Pendidik PAUD harus memiliki sertifikat sebagai pendidik PAUD agar dapat disebut sebagai profesional (Suara Merdeka, 2012). Hal ini mengingat penelitian-penelitian yang mengatakan bahwa masa dini adalah sebagai peletak dasar untuk pendidikan selanjutnya. Selain itu, masa dini merupakan masa emas perkembangan otak manusia. Untuk itu, perlu pendidik PAUD yang memahami peluang pemaksimalan tersebut sejak usia dini. Perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan untuk anak usia dini dengan cara meningkatkan kualitas para pendidik anak usia dini (Ahmad Rizali, dkk, 2009; 12). Permasalahan ini kemudian menjadi tantangan bagi kita semua bahwa penting untuk meningkatkan tenaga pendidik yang berkualitas sehingga memiliki kompetensi untuk menjadi pendidik PAUD.

 

  1. Pendidikan Anak Usia Dini

Anak usia dini didefinisikan oleh the National Association for the Education of Young Children (NAEYC) adalah anak yang berusia 0 sampai 8 tahun (Brewer, Jo Ann, 2007; 4). Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0 sampai dengan 6 tahun. Berdasarkan pada UU tersebut pula anak usia dini dibina dalam jalur pendidikan formal, nonformal dan informal (Direktorat PAUD, TT; 3). Jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK)/Raudhatul Atfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. Sedangkan jalur pendidikan non formal berbentuk Taman Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat; Kelompok Bermain (KB) dan bentuk lain yang sederajat; Satuan PAUD Sejenis (SPS). Jalur informal adalah pendidikan yang diberikan orang tua dan masyarakat baik secara langsung atau tidak langsung kepada anak. Dari dua pengertian di atas terdapat perbedaan rentang usia yang disebut sebagai anak usia dini. Brewer mengatakan bahwa usia di atas usia 6 tahun sampai dengan 8 tahun masih masuk dalam rentang anak usia dini. Hal ini karena terkait dengan masa keemasan yang masih potensial terjadi pada usia tersebut. Penelitian menemukan bahwa otak manusia berkembang 50 persen pada tahun pertama kehidupan. Kemudian berkembang 30 persen sampai usia 8 tahun. Perkembangan otak tersebut terjadi sangat pesat pada usia dini sebanyak 80 persen otak manusia (H.E Mulyasa, 2012; 35). Di Indonesia potensi tersebut diakui sebagai masa keemasan pula namun dari segi pengelompokkan usia secara birokrasi usia tersebut masuk dalam Sekolah Dasar (SD) kelas awal. Pada usia tersebut peluang untuk mengembangkan kemampuan dasar untuk hidup dimasa yang akan datang masih potensial untuk dimaksimalkan. Oleh karena itu, pendidikan awal di sekolah dasar sama pentingnya dengan pendidikan anak usia dini.

Pada usia dini, anak memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyerap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pendidikan anak usia dini merupakan bentuk respon dari penelitian tentang masa keemasan pada usia tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi pendidikan anak usia dini berdasarkan UU no.20 Tahun 2003 yang mengatakan bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Direktorat PAUD, TT; 3).

Selain itu pendidikan anak usia dini menjadi sangat penting pula karena pendidikan awal dapat mengembangkan pemikiran anak terhadap sekolah. Anak menyukai atau tidak tergantung pada awal pendidikannya.  “school is exciting/challenging/fun, and i am a good learner or school is boring/difficult/paintful, and i can’t learn” (Kostelnik, Marjorie. J, 2007; 2). Jadi ketika anak memperoleh pengalaman yang menyenangkan pada pendidikan usia dini maka anak akan memiliki presepsi yang positif pula terhadap sekolah. Pengalaman menyenangkan tersebut harus dibangun dan diusahakan oleh guru. Hal ini menjadi sebuah bentuk tanggung jawab sebagai pendidik PAUD. Untuk menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan, pendidik harus mengetahui minat dan kebutuhan anak, mengetahui tahapan perkembangan anak dan bagaimana anak belajar. Kostelnik menjabarkan bagaimana perkembangan anak dan bagaimana anak belajar yaitu anak berkembang secara holistik, anak berkembang mengikuti waktu yang sama, proses perkembangan anak berbeda-beda pada setiap anak, anak adalah pebelajar aktif, belajar anak dipengaruhi kematangan, belajar anak dipengaruhi lingkungan, gaya belajar setiap anak berbeda, anak belajar melalui kombinasi pengalaman fisik, interaksi sosial dan refleksi, dan anak belajar melalui bermain (Kostelnik, Marjorie J, et all, 2007; 32-37). Pemahaman terhadap pengetahuan ini diharapkan dapat menciptakan kegiatan bermain dan belajar yang menarik dan menyenangkan.

 

  1. Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini

Pentingnya PAUD menuntut pendidik PAUD untuk menjadi profesional. Slamet Suyanto mengatakan bahwa profesional berarti bekerja sesuai prosedur, mengikuti etika profesi dan ilmu PAUD, serta tidak melakukan kesalahan (2005; 11). Pendapat ini diperjelas oleh Driscoll, Amy dan Nagel, Nancy G bahwa “a profesional is someone who is educated, knowledgeable, dedicated to her profession, committed to completion of a specialized course of study, and in possesion of a knowladge base essential to her specialty area (2005; 415). Keharusan pendidik PAUD untuk masuk dalam golongan pekerjaan yang profesional telah dicanangkan dalam UU no. 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa pendidik anak usia dini adalah profesional yang bertugas merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran dan menilai hasil pembelajaran, serta melakukan pembimbingan, pengasuha dan perlindungan kepada anak didik (Direktorat PAUD, TT; 14). Pendidik PAUD pada jalur pendidikan formal terdiri atas guru dan guru pendamping; sedangkan pendidik PAUD pada jalur pendidikan nonformal terdiri atas guru, guru pendamping dan pengasuh. Pendidik anak usia dini selayaknya masuk dalam standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Kualifikasi akademik guru yaitu memiliki ijazah D-II PGTK dari perguruan tinggi yang terakreditasi atau ijazah minimal sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat dan memiliki sertifikat pelatihan/pendidikan/kursus PAUD yang terakreditasi.

Kompetensi pendidik PAUD dikembangkan dalam konteks kebijakan sesuai dengan standar pendidik anak usia dini berdasarkan peraturan menteri pendidikan nasional RI no. 58 Tahun 2009. Berdasarkan acuan tersebut pendidik harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, dan kompetensi sosial. Berikut ini dijabarkan masing-masing kompetensi tersebut.

Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan psikologis anak, sesuai dengan norma, agama, budaya dan keyakinan anak, dan menampilkan diri sebagai pribadi yang berbudi pekerti luhur. Pendidik yang memiliki kompetensi kepribadian ditunjukkan melalui tingkah laku yaitu menyayangi anak secara tulus, berperilaku sabar, tenang, ceria, serta penuh perhatian; memiliki kepekaan, responsif dan humoris terhadap perilaku anak; menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif dan bijaksana; berpenampilan bersih, sehat dan rapi; berperilaku sopan santun, menghargai dan melindungi anak; menghargai anak tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, budaya dan jender; bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat; mengembangkan sikap anak didik untuk menghargai agama dan budaya lain; berperilaku jujur; bertanggung jawab terhadap tugas; berperilaku sebagai teladan.

Kompetensi profesional terkait dengan kemampuan untuk memahami tahapan perkembangan anak, pertumbuhan dan perkembangan anak, kemampuan untuk memberikan rangsangan pendidikan, pengasuhan dan perlindungan, dan kemampuan untuk membangun kerjasama dengan orang tua dalam pendidikan, pengasuhan dan perlindungan anak. Kompetensi ini ditunjukkan dalam bentuk kemampuan pendidik dalam memahami kesinambungan tingkat perkembangan anak usia 0-6 tahun; memahami standar tingkat pencapaian perkembangan anak; memahami bahwa setiap anak mempunyai tingkat kecepatan pencapaian perkembangan yang berbeda; memahami faktor penghambat dan pendukung tingkat pencapaian perkembangan; memahami aspek-aspek perkembangan; memahami faktor yang menghambat dan mendukung aspek perkembangan tersebut; memahami tanda-tanda kelainan pada setiap aspek perkembangan anak; mengenal kebutuhan gizi anak sesuai dengan usia; memahami cara memantau nutrisi, kesehatan dan keselamatan anak; mengetahui pola asuh yang sesuai dengan usia anak; mengenal keunikan anak; mengenal cara-cara pemberian rangsangan dalam pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan secara umum; memiliki keterampilan dalam melakukan pemberian rangsangan pada setiap aspek perkembangan; mengenal faktor-faktor pengasuhan anak; mengkomunikasikan program lembaga kepada orang tua; meningkatkan keterlibatan orang tua dalam program di lembaga; meningkatkan kesinambungan program lembaga dengan lingkungan keluarga.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan yang terkait dengan merencanakan kegiatan program pendidikan, pengasuhan dan perlindungan, melaksanakan proses dan melaksanakan penilaian terhadap proses dan hasil pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan. Kemampuan ini ditunjukkan dalam bentuk kemampuan pendidik dalam menyusun rencana kegiatan tahunan, semesteran, bulanan, mingguan dan harian; menetapkan kegiatan bermain yang mendukung tingkat pencapaian perkembangan anak; merencanakan kegiatan yang disusun berdasarkan kelompok usia; mengelola kegiatan sesuai dengan rencana yang disusun berdasarkan kelompok usia; menggunakan metode pembelajaran melalui bermain sesuai dengan karakteristik anak; memilih dan menggunakan media yang sesuai dengan kegiatan dan kondisi anak; memberikan motivasi untuk meningkatkan keterlibatan anak dalam kegiatan; dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan anak; memilih cara-cara penilaian yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai; melakukan kegiatan penilaian sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan; mengelolah hasil penilaian; menggunakan hasil penilaian untuk berbagai kepentingan pendidikan; mendokumentasikan hasil-hasil penilaian.

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru dalam beradaptasi dengan lingkungan dan berkomunikasi secara efektif dengan anak didik, dan orang tua. Kompetensi ini ditunjukkan melalui kemampuan pendidik dalam menyesuaikan diri dengan teman sejawat; menaati aturan lembaga; menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar; akomodatif terhadap anak didik, orang tua, teman sejawat dari berbagai latar belakang budaya dan sosial ekonomi; berkomunikasi secara empatik dengan orang tua peserta didik; dan berkomunikasi secara efektif dengan anak didik, baik secara fisik, verbal dan nonverbal.

Penjabaran kompetensi tersebut dari sisi kebijakan jika diterapkan maka akan menghasilkan pendidik anak usia dini yang ideal atau profesional. Untuk menuju pada pemaksimalan kompetensi tersebut pemerintah melakukan berbagai usaha diantaranya melalui pemberian pelatihan-pelatihan. Usaha tersebut dilakukan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Pengembangan kompetensi kepribadian dan sosial harus dikembangkan oleh pendidik sendiri melalui interaksi guru dengan anak, orang tua, atau dengan sesama pendidik.

Kompetensi tersebut hendaknya didukung dengan karakteristik dasar yang harus dimiliki oleh seorang pendidik PAUD. Edgington menuliskan beberapa karakteristik penting yang harus dimiliki oleh pendidik anak usia dini. Karakteristik tersebut yaitu memiliki landasan keilmuan yang kuat tentang perkembangan anak dan belajar efektif; bersikap optimis dan memiliki pendekatan “aku bisa”; hangat dan memiliki empati; spontanitas dan fleksibel; memiliki keahlian dalam melakukan refleksi dan analisis; memiliki kemampuan untuk berkomuniksasi dengan banyak orang; mampu memimpin; bermain penuh dan mampu menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan; memiliki imajinasi dan kreativitas yang tinggi; mampu merancang program dan melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada analisis kebutuhan anak; dan kemampuan untuk secara terus menerus mendokumentasikan  serta melakukan penilaian pada perkembangan pada anak (Edgington, Margaret, 2004; 3-7).

Karakteristik memiliki landasan keilmuan yang kuat tentang perkembangan anak dan belajar efektif. Karakteristik ini hanya dapat diperoleh melalui latihan, membaca, dan mengamati. Pendidik mengetahui perkembangan anak dari membaca, kemudian mengamati perkembangan tersebut secara nyata. Dengan mengamati anak, pendidik mengetahui kebutuhan anak. Hasil dari pengamatan tersebut kemudian digunakan untuk membuat program yang relevan dengan kurikulum. Pendidik berlatih untuk mengembangkan program yang sesuai dengan kebutuhan anak dan sesuai dengan kurikulum.

Bersikap optimis dan memiliki pendekatan “aku bisa”. Pendidik anak usia dini berperan menjadi model untuk anak didiknya. Jika pendidik bersikap negatif dan tidak memiliki antusias, maka sikap tersebut dapat mempengaruhi energi optimis seorang anak. Artinya bahwa pendidik anak usia dini harus senantiasa memiliki sikap positif dan optimis walaupun mengalami banyak tantangan. “a pessimist sees the difficulty in every opportunity; an optimist sees the opportunity in every difficulty” (Edgington, Margaret, 2004; 8). Peran pendidik sebagai motivator tidak hanya terlihat dari bagaimana pendidik memberi dukungan kepada anak untuk mengambil bagian dalam kegiatan bermain namun diri pendidik itu sendiri menjadi inspirasi bagi anak untuk memiliki inisiatif, berkreasi, dan beraktivitas.

Hangat dan memiliki empati. Perlu menjadi penegasan bahwa untuk menjadi pendidik bagi anak usia dini syarat utama adalah pendidik harus menyukai anak-anak. Kesukaan terhadap anak-anak dan dunianya membuat pendidik lebih mudah melakukan pendekatan, menjadi guru yang hangat, mampu secara konsisten untuk merespon anak dan orang tua dari berbagai kalangan dengan bersahabat, memiliki pola pikir inklusi, tidak membedakan, dan mampu melihat anak dan orang tua dari sisi positif. Untuk mencapai hal tersebut, pendidik harus mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu, pendidik perlu memiliki hubungan yang kuat dengan orang tua sebagai teman dalam satu tim untuk mendidik anak, walaupun orang tua memiliki latar budaya yang berbeda.

Spontanitas dan fleksibel. Pendidik anak usia dini harus memiliki spontanitas dan fleksibilitas yang tinggi. Hal ini terjadi karena anak tidak dapat diprediksi, anak sibuk bermain dalam dunianya dan penyelesaian yang dilakukan setiap anak tidak selalu sama dengan apa yang dilakukan orang dewasa. Pendidik anak usia dini harus fleksibel dan mengikuti arahan anak, merespon dengan antusias pada kegiatan yang spontan dan memandang kegiatan tersebut sebagai peluang untuk belajar secara utuh.

Pendidik anak usia dini harus memiliki keahlian dalam melakukan refleksi dan menganalisis kegiatan mengajarnya. Karakteristik ini perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam mengembangkan rencana lanjutan. Hasil analisis dan refleksi tersebut kemudian harus disampaikan pada orang lain dalam bentuk telaah yang diambil dari analisis terhadap kekuatan dan kelemahan rencana dan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan. Pendidik berusaha untuk memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran agar menghasilkan kualitas pembelajaran yang lebih baik. Untuk mengembangkan keahlian ini, pendidik harus memiliki sikap rendah hati mau menerima saran dari orang lain dan melakukan perubahan dalam pembelajaran dengan keinginan untuk terus menerus belajar.

Pendidik memiliki kemampuan untuk berkomuniksasi dengan banyak orang. Kemampuan komunikasi ini terdiri dari kemampuan komunikasi non verbal dan verbal termasuk didalamnya kemampuan untuk berbicara dan menulis dengan jelas, kemampuan menyimak dan menjadi pendengar. Pendidik anak usia dini harus memiliki kemampuan untuk mau mendengarkan anak, orang tua dan bertindak sebagai pendengar aktif yang berarti bahwa pendidik mampu memberikan respon dari apa yang didengar dan berusaha untuk mengambil tindakan bijak sesuai dengan apa yang didengar.

Pendidik anak usia dini harus mampu memimpin timnya (dengan pendidik lain dan orang tua) dan berusaha untuk menunjukkan tanggung jawab. Pendidik bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi selama anak berada dalam proses pembelajaran, memotivasi dan secara langsung memberikan bimbingan pada pendidik atau karyawan yang ada di sekolah. Selain itu, pendidik juga harus memiliki kemampuan untuk mengevaluasi proses dan rencana kegiatan dalam tim tersebut. Kepemimpinan juga terlihat dalam bentuk dapat dipercaya, mampu menjelaskan, memberi dukungan, merespon, menilai, mendengarkan, mengkoordinasi, mampu bekerjasama dan mampu berdiskusi (Edgington, Margaret, 2004; 14).

Pendidik harus memiliki kemampuan untuk bermain penuh dan mampu menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan. Pendidik anak usia dini harus mampu menciptakan kegiatan bermain untuk anak dan mengusahakan kegiatan didapat dari situasi kehidupan yang nyata (kontekstual). Pendidik harus menciptakan lingkungan belajar yang konteksnya bermain baik dalam ruangan atau di luar ruangan. Untuk menciptakan kegiatan belajar yang menyenangkan, pendidik harus berusaha membayangkan dirinya sebagai anak-anak dan bahkan menjadi seperti anak-anak, serta ikut bermain bersama dengan anak.

Pendidik harus memiliki imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Untuk menjadi pendidik anak usia dini yang berhasil dan mampu meningkatkan kegiatan bermain yang menarik dan menyenangkan tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak. Pendidik diharapkan dapat menggunakan, memanfaatkan, memaksimalkan material yang ada untuk menciptakan lingkungan yang kaya pada anak. Untuk dapat melakukan hal tersebut pendidik harus memiliki imajinasi dan kreativitas yang tinggi sehingga menghasilkan anak yang kreatif. Keterbukaan pendidik dalam melihat hasil karya dan cara anak memecahkan masalah ketika bermain tanpa tekanan membebaskan anak untuk berimajinasi dan berkreasi. Hal ini berarti bahwa pendidik harus fleksibel dan memandang hasil tersebut sebagai bentuk imajinasi dan kreativitas anak.

Pendidik harus mampu merancang program dan melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada analisis kebutuhan anak. Untuk mengembangkan karakteristik ini pendidik harus memahami tahapan setiap aspek perkembangan anak secara utuh, melakukan pengamatan pada anak dan berlatih memahami setiap kebutuhan anak. Program yang dirancang pendidik harus cocok dengan tahapan tersebut. Hal ini berarti program yang direncanakan tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah dari kemampuan anak. Tema yanag dipilih pendidik juga harus sesuai dengan minat anak.

Karakteristik terakhir yaitu kemampuan pendidik untuk secara terus menerus mendokumentasikan serta melakukan penilaian pada perkembangan anak. Pendidik anak usia dini harus mengembangkan dan memiliki tingkat kemampuan yang tinggi untuk mendokumentasikan pelaksanaan pembelajaran baik terhadap perkembangan anak ataupun dalam program. Berbagai bentuk dokumentasi tersebut seperti rekaman pengamatan, hasil belajar, rekaman ilustrasi pengalaman praktek anak, foto, buku, dan video. Tujuan dokumentasi tersebut yaitu untuk melihat bagaimana anak belajar dan apa yang dipelajari anak. Selain itu, dokumentasi tersebut secara praktis dapat dilihat oleh orang tua dan anak, sebagai bahan diskusi untuk diketahui oleh orang tua terkait dengan kemampuan anak yang sering terlihat di rumah dan di sekolah.

Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya (Suyanto dan Asep Djihad, 2012; 25). Kualitas profesionalisme seseorang didukung oleh beberapa kompetensi yaitu 1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, 2) selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi, 3) senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, 4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi (Suyanto, 30). Oleh karena itu, guru profesional adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan memiliki keinginan untuk terus meningkatkan profesinya dengan banyak belajar untuk menambah pengetahuan terkait dengan profesi yang dijalani. Dengan demikian, profesionalisme pendidik anak usia dini adalah sikap pendidik anak usia dini yang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dalam mendidik anak usia dini.

Terkait dengan profesionalisme tersebut, salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidik PAUD adalah dengan memberikan pelatihan-pelatihan atau diklat untuk para guru. Usaha lain yang dilakukan yaitu dengan mengikutsertakan guru pada Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). PLPG merupakan program yang untuk sementara ini dapat diakui sebagai sarana untuk memberi guru-guru sertifikat sebagai guru PAUD dengan harapan peserta yang lulus PLPG memiliki kompetensi yang lebih baik. Selain itu sikap mental terkait profesionalisme tersebut harus pula ditujukkan oleh guru PAUD dalam bentuk tindakan nyata.

Berikut ini potret profesionalisme pendidik anak usia dini di Yogyakarta. Berdasarkan data yang dijaring penulis secara acak di 5 kabupaten yaitu Bantul, Gunung kidul, Kulon Progo, Sleman, dan DIY, pada sejumlah 100 guru PAUD, diperoleh data bahwa 90 persen guru PAUD memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Sedangkan 10 persen berkeberatan melanjutkan pendidikan di bidang PAUD karena usia yang tidak memungkinkan. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan merupakan bentuk keinginan guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik yang menjadi salah satu syarat agar pendidik PAUD dapat disebut profesional.

Berdasarkan angket tersebut hampir semua guru PAUD mengisi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengembangan kompetensi pendidik PAUD yaitu mengikuti kegiatan pelatihan, seminar, membaca buku-buku tentang perkembangan anak dan sumber-sumber lain sesuai dengan kebutuhannya dalam mengajar. Ketika pertanyaan angket terkait dengan keikutsertaan guru dalam PLPG, rata-rata guru sangat ingin mendapat kesempatan untuk mengikuti PLPG. Guru 90 persen mengisi skala 10 untuk menunjukkan keinginannya mengikuti kegiatan ini dalam skala 1 sampai dengan 10. Adapun alasan guru berdasarkan catatan dalam mengikuti PLPG adalah untuk meningkatkan kompetensi, menambah pengetahuan, dapat diangkat sebagai PNS, dan menguji kompetensi profesional yang dimilikinya sebagai guru PAUD. Antusiasme guru dalam mengikuti PLPG ini terlihat dalam data kasar yang diperoleh penulis dari panitia PLPG UNY, Yogyakarta. Data tersebut disajikan dalam bentuk gambar.

Sumber:

Panitia PLPG UNY 2012

 

Tahun 2010 peserta PLPG sejumlah 197 peserta. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 2,84 persen yaitu sejumlah 560 peserta pada tahun 2011. Tahun 2012 meningkat 1,85 persen dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah 1036 peserta. Data-data tersebut peningkatan peserta PLPG di Yogyakarta menunjukkan bahwa guru PAUD memiliki keinginan untuk mengembangkan profesinya melalui pendidikan latihan profesi guru dengan kata lain memiliki profesionalisme sebagai pendidik anak usia dini. Namun demikian, data tersebut tidak dapat menunjukkan keinginan perubahan tersebut secara nyata. Banyak dari peserta tersebut yang tidak lulus ketika mengikuti PLPG. Potret ini menunjukkan bahwa kualitas pendidik anak usia dini di Indonesia memang belum baik. Namun usaha-usaha peningkatan tersebut sudah mulai diupayakan oleh pemerintah agar menjadi lebih baik. Untuk itu, profeisonalisme menjadi pendidik anak usia dini harus diusahakan atau ditumbuhkan oleh pendidik PAUD itu sendiri. Meskipun sudah memiliki sertifikat sebagai pendidik PAUD, seorang pendidik harus terus berusaha untuk meningkatkan dirinya sebagai bentuk tanggung jawab yang tinggi terhadap status profesional yang dimiliki. Pengembangan diri pendidik untuk meningkatkan kompetensi kepribadian dan sosial menjadikan pengalaman mengajar berinteraksi dengan anak, orang tua dan masyarakat sebagai cara untuk belajar dan memperbaiki diri, diikuti oleh keinginan untuk terus belajar dari membaca dan memiliki sikap rendah hati untuk mau menerima masukan dari berbagai sumber.

 

  1. Penutup

Pendidik anak usia dini diakui sebagai profesi karena untuk menjadi pendidik anak usia dini, seseorang harus berusaha untuk terus menerus mengembangkan profesinya dengan berbagai usaha agar mampu mempertahankan kualitasnya sebagai bagian dari profesi yang profesional. Dengan melihat data-data antusiasme pendidik anak usia dini di Yogyakarta untuk mengikuti PLPG dan data yang diambil secara acak pada 100 orang guru PAUD di Yogyakarta, dapat dikatakan bahwa 90 persen memiliki profesionalisme sebagai pendidik anak usia dini. Walaupun demikian menjadi orang yang profesional perlu melewati proses dan masing-masing kompetensi yaitu pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian harus senantiasa diuji untuk mempertahankan status tersebut. Pendidik anak usia dini harus mempertahankan profesinya dengan bertanggung jawab melalui usaha-usaha kreatif untuk terus meningkatkan diri dengan terus menerus belajar.

 

  1. Referensi

Ahmad Rizali, dkk. 2009. Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Anggun Puspita. 2012. 87,3 persen Guru PAUD Tak Penuhi Standar Kompetensi. Diakses dari: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/05/27/119581/873-Persen-Guru-PAUD-Tak-Penuhi-Standar-Kompetensi, tanggal 25 September 2012, jam 11:41

Brewer, Jo Ann. 2007. Introduction to Early Childhood Education: Preschool through primary grades. USA: Pearson Education, Inc.

Direktorat PAUD. TT. Peraturan menteri Pendidikan Nasional Tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kemendiknas

Driscoll, Amy dan Nagel, Nancy G. 2005. Early Childhood Education, Birth-8. USA: Pearson Education, Inc.

Edgington, Margaret. 2004. The Foundation Stage Teacher in Action Teaching 3, 4, and 5-Year-Olds. London: Paul Chapman Publishing

H.E. Mulyasa. 2012. Manajemen PAUD. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Kostelnik, Marjorie J, et all. 2007. Developmentally Appropriate Curriculum Best Practices in Early Childhood Education. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Direktorat PAUD. 2011. Mengenal Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia. Diakses dari http://paud.kemdiknas.go.id/index.php/home/bukaLinkBeritaRSS/1, tanggal 25 September 2012, jam 11:50

Redaksi. 2012. Kriteria Pendidik Lembaga PAUD. Diakses dari: http://www.koranpendidikan.com/view/1268/kriteria-pendidik-lembaga-paud.html, tanggal 25 September 2012, jam 11:46

Rini. 2012. Dirjen PAUDNI: Dorong Guru PAUD Berpendidikan Sarjana. Diakses dari: http://www.paudni.kemdikbud.go.id/dorong-guru-paud-berpendidikan-sarjana/, tanggal 25 September 2012, jam 11:40

Suara Merdeka. 2012. Guru PAUD Belum Penuhi Standar Kompetensi. Diakses dari: http://www.lazuardibirru.org/gurupencerah/berita-gurupencerah/guru-paud-belum-penuhi-standar-kompetensi/, tanggal 25 September 2012, jam 11:44

Slamet Suyanto. 2005. Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat Publishing

Suyanto dan Asep Djihad. 2012. Bagaimana Menjadi Calon Guru dan Guru Profesional. Yogyakarta: Multi Presindo

 

Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini

Martha Christianti, M. Pd

Staf Pengajar PGPAUD FIP UNY

 

Ultah Casey ke 6

Hari ini Casey Daniel Nugrahaputra ulang tahun ke 6. Bunda Martha Christianti ajarkan Casey Daniel Nugrahaputra untuk berbagi dengan teman sebagai ucapan syukur atas bertambahnya usia. Hanya memberi bingkisan sedikit untuk teman-teman, bolu spon karakter, susu, dan roti yang gurih. Kebetulan teman-teman ada di kebun binatang puncak tema binatang. Pulang sekolah, langsung deh Casey berbagi dengan teman-teman. Ayah Bayu Nugraha selalu membantu membawa barang-barang hehe..ayah kuat dan perkasa. Sehabis pulang sekolah, kami ajak Uti dan Akung untuk merayakan ultah Casey di Mc D. Makan bersama dan meniup lilin sederhana untuk ulang tahun kakaknya Carlo Timothy Nugrahaputra.. Berkatilah Casey ya Tuhan, sehat selalu, tambah pintar, tambah besar, diberkati Tuhan, takut akan Tuhan, sayang teman, adik, bunda dan ayah. Puji Tuhan. GBU cah bagus….muah..muah.

Ultah Carlo ke 1

Yey..Carlo Timothy Nugrahaputra, ultah..selamat ulang tahun cah bagus. Tambah pintar, tambah besar, takut Tuhan, sayang kakak, bunda dan ayah, serta teman. Bunda Martha Christianti dan ayah Bayu Nugraha sayang ade..terlebih juga kakak Casey Daniel Nugrahaputra. Ultah sederhana yang dirayakan di sekolah minggu..sangat berkesan. Dengan kue ultah yang dibuat bunda sendiri sampai pagi hari, sedikit nasi kuning yang dipesan di bu sarbin (tetangga gedong kiwo) dan susu kotak. Meriah..menyenangkan. Sehat terus ya nak.. jadi kebanggaan bunda dan ayah..kami sayang ade Carlo..Ti ti Mo..mo..mo thyyyy…muah muah.